Mengenal Kitab Pranoto Mongso, Sistem Penanggalan Jawa Bagi Para Petani dan Nelayan
Biasanya kitab Pranoto Mongso digunakan oleh petani dan nelayan Jawa pada zaman dulu
Dalam sebuah video yang diunggah Instagram @humasjogja, terlihat seorang perempuan tua sedang menunjukkan sebuah papan yang terdiri dari garis dan titik disertai dengan garis menyilang.
“Jumlah kolomnya ada 30, jumlah barisnya ada tujuh disesuaikan jumlah hari. Ini namanya Pranoto Mongso. Kalau mau dibilang kalender juga bisa,” kata perempuan bernama Mbah Wasinem itu.
-
Apa itu kitab kuning? Merujuk pada Undang-undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren.
-
Apa isi dari Buku Mati? Buku yang memiliki judul ganda, ‘The Spells of Coming Forth by Day,’ atau dikenal dengan sebutan Buku Mati, ternyata menyimpan makna mendalam dalam dunia gaib. Selain memuat berbagai mantra, buku ini juga dipenuhi dengan kidung yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
-
Apa isi dari Kitab Topah? Kitab Topah ini penuh dengan tulisan arab yang berisikan tentang sejarah Islam.
-
Apa yang menonjol dalam karya Eko Prawoto? Dalam karyanya, Eko selalu menonjolkan lokalitas Nusantara yang memihak pada kemanusiaan dan hunian hijau.
-
Apa isi dari buku Kodeks Rohonczi? Di dalam buku ini, terdapat rangkaian tanda-tanda yang tidak dikenal beserta ilustrasi yang menggambarkan simbol salib, bulan sabit, matahari/swastika, dan lingkungan agama kristen, pangan, dan muslim hidup berdampingan dalam harmoni.
-
Apa yang ditemukan di lempengan kuno yang mirip dengan kitab Wahyu? Proyek penelitian Universitas Johannes Gutenbreg Mainz (JGU) di Jerman menemukan sebuah lempengan berisi kutukan kuno dengan deskripsi dan frasa yang mirip dengan kitab Wahyu.
Mbah Wasinem mengatakan, kitab Pranoto Mongso yang ia miliki telah diwariskan secara turun-temurun. Biasanya kitab Pranoto Mongso digunakan oleh petani Jawa pada zaman dulu. Lantas seperti apa penggunaan dari Kitab Pranoto Mongso ini?
Aturan Pranoto Mongso
Dikutip dari Salamyogyakarta.com, Pranoto Mongso merupakan semacam penanggalan musim menurut pemahaman masyarakat Jawa. Biasanya Pranoto Mongso ini digunakan oleh petani dan nelayan.
Penggunaan Pranoto Mongso ini dipelopori oleh Raja Pakubuwono VII dan dimulai sejak 22 Juni 1856. Contoh penggunaannya biasanya pada saat petani bercocok tanam, pelaut saat melaut, dan berperang.
Pada tahun 1855, aturan Pranoto Mongso diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV. Aturan itu meliputi bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari. Aturan musim itu dikaitkan dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, dan situasi alam sekitar.
Berdasarkan aturan ini, setahun dibagi ke dalam empat musim utama dan dua musim kecil yaitu: terang (langit cerah, 82 hari), semplah (penderitaan, 99 hari) dengan masa paceklik pada 23 hari pertama, udan (musim hujan, 86 hari), dan pangarep-arep (penuh harap, 98/99 hari) dengan masa kecil panen pada 23 hari terakhir.
Pembagian Pranoto Mongso
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim dengan rentan waktu yang lebih singkat namun jangka waktunya lebih bervariasi sesuai dengan yang tercantum pada prisma pranoto mongso.
Dua belas musim dalam pranoto mongso antara lain Kasa (22 Juni-1 Agustus), Karo (2 Agustus-24 Agustus), Katelu (25 Agustus-17 September), Kapat (18 September-12 Oktober), Kalima (13 Oktober-8 November), Kanem (9 November-21 Desember), Kapitu (22 Desember-2 Februari), Kawolu (3 Februari-28 Februari), Kasanga (1 Maret-25 Maret), Kasadasa (26 Maret-1 April), Dhesta (19 April-11 Mei), dan Sadha (12 Mei-21 Juni).
Kaitan Pranoto Mongso dengan Kehidupan
Dari Pranoto Mongso, diketahui pada Bulan Desember-Januari-Februari adalah musimnya badai, hujan, banjir, dan longsor. Selanjutnya pada musim Kawolu antara 2/3 Februari-1/2 Maret, bersiap siagalah terhadap penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan. Dimungkinkan akibat banjir, badai, dan longsor itu akan berdampak pada menyebarnya penyakit dan kelaparan.
Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang selalu menemani saat melaut. Pada bulan-bulan tertentu, mereka bisa mendapatkan ikan yang banyak saat melaut. Namun pada bulan-bulan tertentu pula, kondisi laut sangat berbahaya. Di saat itulah para nelayan bisa berhenti melaut sembari memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah, atau mencari pekerjaan selain melaut.