Tari Rampak Gedruk Buto, Kesenian Ikon Kemarahan Raksasa Lereng Merapi
Raut topeng monster ini begitu menyeramkan, menggambarkan kemarahan raksasa penghuni alam. Tak hanya sekedar kesenian, tradisi unik ini telah melekat sebagai keyakinan dan kebudayaan warga Lereng Gunung Merapi.
Tradisi dan kebudayaan erat kaitannya dengan ikatan manusia, alam dan pencipta. Keyakinan menghasilkan ritual dalam kultus yang terjaga dalam adat istiadat. Sebuah keunikan Indonesia yang patut dibanggakan. Tersebar di setiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing. Begitupula sebuah tradisi di Lereng Gunung Merapi ini. Berdandan ala monster yang rupanya begitu menyeramkan.
Inilah kesenian Tari Rampak Gedruk Buto, lahir di Magelang Jawa Tengah. Berkembang hingga Boyolali, Semarang, bahkan menjamah ke Sleman, Yogyakarta. Para pemerannya menari dengan gerakan tangan dan kaki yang kompak. Cosplay monster dalam Tari Rampak Gedruk Buto ini menjadi ikon dari raksasa yang mendiami Gunung Merapi.
-
Kapan Tradisi Mantu Kucing dimulai? Tradisi Mantu Kucing dilakukan oleh masyarakat di Dusun Njati, Pacitan, Jawa Timur sejak 1960-an.
-
Apa itu Tradisi Ujungan? Warga di kampung adat Cibadak, Desa Warung Banten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak memiliki sebuah tradisi unik bernama Ujungan.
-
Kapan tari tradisional mulai berkembang? Jenis tari tradisional telah berkembang dari masa ke masa yang telah melewati waktu cukup lama di suatu daerah, adat, atau etnik.
-
Bagaimana tradisi upah-upah dilakukan? Tradisi upah-upah biasanya dilengkapi dengan jamuan kecil maupun besar serta doa dan selamat atas tercapainya suatu hal.
-
Di mana tradisi Kawin Tangkap terjadi? Tradisi kawin tangkap merupakan perkawinan yang dilakukan dengan cara menangkap perempuan dengan paksa untuk dikawinkan dengan seorang pria yang tidak dicintainya.Tradisi kawin tangkap memiliki makna dalam mengangkat derajat atau untuk menghilangkan rasa malu kepada keluarga laki-laki.
-
Kapan tradisi ini dilakukan? Biasanya, tradisi ini digelar pada Hari Jumat Kliwon di bulan Agustus.
Warga Lereng Merapi percaya, melihat kerusakan alam yang merajalela akan memicu kemarahan dari raksasa. Tak hanya sekedar kesenian, makna untuk menjaga alam tercurah pada kesenian unik di Lereng Merapi ini.
©2021 Merdeka.com/Yoyok Sunaryo
Tari Rampak Gedruk Buto biasanya menjadi kesenian tahunan untuk memeriahkan perayaan tertentu. Buto digambarkan dalam sebuah kostum menyeramkan dengan raut kemarahan. Simbol inilah keyakinan warga Lereng Merapi akan kemarahan sang raksasa. Kerusakan alam, eksploitasi, pembukaan lahan akibat ulah tangan manusia.
Mengingat, Kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu memang cukup parah. Diakibatkan oleh alih fungsi lahan konservasi menjadi lahan pertanian dan permukiman dan penggunaan pestisida yang berlebihan.
Berkat keunikannya, Rampak Gedruk Buto selalu menyedot masyarakat untuk berdatangan dan menyaksikan. Tak hanya hiburan semata, namun makna kemarahan Buto atau raksasa dipertahankan menjadi sebuah pelajaran menjaga alam.
©2021 Merdeka.com/Yoyok Sunaryo
Layaknya sebuah tarian, Rampak Gedruk Buto punya ciri khas gerakannya sendiri. Tak begitu rumit, hanya didominasi dengan gerakan menghentakkan kaki secara beriringan. Hentakan kaki diiringi dengan ayunan tangan, menggambarkan kemurkaan raksasa yang gagah dan berkuasa.
Pada kaki mereka terpasang busa dengan puluhan lonceng yang menempel. Gemerincing suaranya memekakkan telinga, memecah keramaian. Berirama senada dengan hentakan kaki para penari Rampak Gedruk Buto. Diiringi lantunan irama kendang dan beberpa gamelan.
Kata rampak sendiri memiliki arti serempak, sedangkan gedruk berarti hentakan kaki. Nama kesenian ini menunjukkan gerakan tarian hentakan kaki bersama-sama yang menggambarkan hentakan kaki raksasa.
©2021 Merdeka.com/Yoyok Sunaryo
Kostum Rampak Gedruk Buto begitu menonjol pada topengnya yang menyeramkan. Pelototan matanya begitu besar dengan gigi runcingnya yang mencuat keluar. Terbuat dari ukiran kayu dengan warna yang beragam, mulai dari biru, merah, cokelat, kuning, hingga hitam.
Pakaian yang dikenakan juga terdiri dari pilihan warna yang mencolok seperti merah, kuning, hijau, dan biru. Selain itu sayak atau untaian kain, sampur atau selendang, hiasan uncal, serta rambut sang buto.
Para penari Rampak Gedruk Buto biasnya terdiri dari 10 orang pemain. Kekompakan menjadi kunci utama membawakan tarian ini. Semakin kompak, maka hentakan kaki mereka semakin terdengar kencang. Rampak Gedruk Buto dapat dibawakan dengan arak-arakan atau dalam sebuah panggung pementasan.
©2021 Merdeka.com/Yoyok Sunaryo
Biasanya sebelum Tari Rampak Gedruk Buto digelar, para pemangku adat akan melakukan ritual. Doa dan sesajen dipersembahkan agar penari punya stamina lebih dan gerakan tariannya lebih kuat. Tak jarang, mereka juga melibatkan roh-roh para leluhur untuk memasuki para penari. Agar gerakan mereka lincah seperti buto atau raksasa.
Pementasan tarian ini biasanya berlangsung selama 45 menit. Tari Rampak Gedruk Buto menjadi wujud keprihatinan masyarakat dengan alam. Terlebih menjadi kesenian yang telah lama melekat pada penduduk Magelang sejak lama. Terinspirasi dari cerita perang Prabu Baka dan Babad Tanah Jawa. Tarian ini mengambil unsur 'garang' dari kemarahan sang raksasa.
(mdk/Ibr)