Kisah di Balik Petirtaan Songgoriti Kota Batu, Dulu Hutan Belantara Kini Terkenal sebagai Sumber Mata Air yang Bisa Sembuhkan Penyakit
Kawasan ini dulu sengaja dibangun untuk memenuhi keinginan Mpu Sindok tinggal di lereng Gunung Kawi.
Petirtaan Songgoriti berada di Kelurahan Songgokerto, Kota Batu, Jawa Timur merupakan salah satu peninggalan masa klasik tua dengan arsitektur memukau.
Dilihat dari pola denah dan gaya ukirannya, petirtaan ini diduga dibangun sekitar abad 10 Masehi. Nama Songgoriti diduga berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang memiliki makna timbunan logam.
- Berurai Air Mata Warga Perbatasan di Lampung saat Hunian Mereka Dirusak Kawanan Gajar Liar
- Kebakaran Hutan dan Lahan di Sungai Rotan Muara Enim Meluas ke Permukiman Warga
- Tak Kalah Indah dari Kawah Ijen, Intip Pesona Sungai Kalipait Bondowoso Mengalir Membelah Hutan dan Tebing Batu
- Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan
Hal ini berkaitan dengan nama Kelurahan Songgokerto yang bermakna timbunan kemakmuran. Petirtaan Songgoriti sejak awal dibangun untuk tempat penyucian diri dan memanjatkan doa bagi kaum bangsawan Mataram Kuno di Jawa Timur.
Sejarah
Keberadaan Petirtaan Songgoriti berawal dari mandat yang diterima Mpu Supo dari raja pertama Mataram Kuno Jawa Timur, Raja Sindok. Mpu Supo diminta mencari dan membangun tempat peristirahatan di lereng Gunung Kawi yang terdapat sumber mata air.
Mpu Supo kemudian menemukan sumber mata air panas dan dingin yang sekarang dikenal dengan nama Songgoriti. Dulunya, kawasan Songgoriti merupakan kawah-kawah dan hutan yang tidak bisa dijamah manusia.
Mengutip artikel berjudul Mitos masyarakat terhadap ritual di Candi Songgoriti sebagai warisan pengetahuan budaya lokal karya Dwi Sulistyorini (Jurnal DIGLOSIA, 2024), kedatangan Mpu Supo mengubah kawasan tersebut menjadi kawasan yang bisa dihuni penduduk.
Mpu Supo adalah orang pertama yang membuka lahan atau babat alas daerah Songgoriti.
Masyarakat sekitar menyebut Mpu Supo dengan Mbah Patok karena di makamnya ada dua buah patokan. Tidak ada batu nisan maupun identitas tentang makam tersebut.
Perkembangan
Petirtaan Songgoriti ditemukan oleh Van Ijsseldijk pada tahun 1799 silam. Melihat potensi yang dimiliki situs bersejarah ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan beberapa kali pemugaran.
Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1849 dan dipimpin oleh Rigg. Pemugaran kedua dilakukan tahun 1863 dan diketuai oleh Brumund.
Mengutip Instagram @disbudparjatimprov, pada tahun 1902 Knebel melakukan inventarisasi pada petirtaan Songgoriti. Belasan tahun kemudian yakni pada tahun 1921-1923, Knebel juga memimpin pemugaran petirtaan ini.
Saat tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Timur melakukan ekskavasi Petirtaan Songgoriti pada tahun 2021 silam, mereka menemukan drainase di sebelah barat laut bangunan candi.
Fungsi
Masyarakat sekitar percaya bahwa Petirtaan Songgoriti dan makam Mbah Patok memiliki kekuatan supranatural. Dulu petirtaan ini digunakan sebagai tempat pemujaan oleh masyarakat Mataram Kuno. Mereka percaya doa-doa yang dipanjatkan di petirtaan ini dapat terkabul.
Hingga saat ini, masyarakat masih melakukan ritual di Petirtaan Songgoriti maupun makam Mbah Patok. Mereka memanjatkan doa dan berharap segala keinginannya terkabul.
Lokasi ini banyak dikunjungi masyarakat, khususnya pada Jumat Legi. Warga juga menyiapkan sesajen sebagai pelengkap pemanjatan doa.
Menurut penuturan seorang warga, sesaji dan cok bakal bertujuan untuk memperingati jasa Mbah Supo. Pasalnya, Mbah Supo adalah orang yang telah menemukan daerah Songgoriti sehingga dapat ditinggali masyarakat seperti sekarang.