Dulu Hutan Belantara yang Tak Dilirik Orang, Ini Kisah di Balik Berdirinya Kabupaten Pacitan
Orang-orang pertama yang berjasa mengubah hutan jadi permukiman penduduk merupakan para pendakwah Islam
Orang-orang pertama yang berjasa mengubah hutan jadi permukiman penduduk merupakan para pendakwah Islam
Dulu Hutan Belantara yang Tak Dilirik Orang, Ini Kisah di Balik Berdirinya Kabupaten Pacitan
Pada zaman Kerajaan Majapahit, daerah Pacitan tidak dilirik sama sekali. Pasalnya, saat itu Pacitan merupakan hutan belantara yang tak berpenghuni. Beberapa orang yang singgah di sini merupakan pendatang yang hendak semedi.
Hari Jadi ke-279
Hari Jadi Kabupaten Pacitan (Hajatan) ke-279 jatuh pada Senin, 19 Februari 2024. Sebelumnya, Bupati dan Forkopimda Pacitan melakukan ziarah ke makam para pendiri Kabupaten Pacitan. Mulai dari makam Kanjeng Jimat (Jogokardjo 1) di pemakaman Giri Sampurno, Makam Notopuro, dan makam Ki Ageng Petung di Desa Kembang. Mengutip Instagram @pemkabpacitan, ziarah ke makam para leluhur merupakan agenda rutin tahunan menjelang Hajatan.
Hutan Belantara
Dulunya, wilayah yang berada di pesisir selatan Jawa Timur ini merupakan hutan belantara. Cikal bakal berdirinya Kabupaten Pacitan berkaitan erat dengan sosok Bathara Katong, Adipati Ponorogo. Jika di Ponorogo ia sendiri yang menyebarkan dakwah Islam, di Pacitan ia mengutus murid-muridnya untuk mengembangkan hutan belantara jadi wilayah baru yang layak dihuni masyarakat. Mereka adalah Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, dan juga Syekh Maulana Maghribi.
Mengutip Buku Pacitan The Heaven of Indonesia karya Dwi Purnawan, setelah mendapat restu Bathara Katong, Kiai Siti Geseng berangkat ke Wengker Selatan dan membuka lahan yang kemudian diberi nama hutan Rejoso. Selanjutnya, ia beribadah dengan menancapkan bambu seukuran pegangan sabit untuk berdoa dan memohon pertolongan. Saat proses membuka lahan, Kiai Siti Geseng bertemu sesama pendakwah Islam bernama Syekh Maulana Maghribi. Saat itu, Syekh Maulana dan Ki Ageng Petung mendapatkan izin Bathara Katong untuk mengelola daerah di pesisir selatan Wengker ini. Selain itu, ada juga sosok Kyai Ampok Boyo atau Ki Ageng Posong yang berjasa besar bagi cikal bakal Pacitan.
Sejarah PacitanAsal-usul Nama
Mengutip Babad Pacitan, nama kabupaten ini berasal dari kata Pace atau buah mengkudu yang berkhasiat bagi kesehatan manusia. Hal ini berkaitan erat dengan cerita legenda perang Mangkubumen atau Perang Palihan Nagari (1746–1755).
Saat itu, Pangeran Mangkubumi (putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura) berperang melawan VOC dan mengungsi sampai di daerah Pacitan. Dalam pelariannya, kondisi tubuh Pangeran Mangkubumi sangat lemah. Berkat pertolongan Setraketipa yang memberikan buah pace masak, kekuatan Mangkubumi bisa pulih kembali. Setelah sehat, Mangkubumi berhasil merebut dan mendapatkan kekuasaan di bagian barat Kartasura dan menjadi raja pertama di Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1755 (berdasarkan perjanjian Giyanti).
Berkat jasanya menyembuhkan sang pangeran, Setraketipa diangkat menjadi Tumenggung atau bupati Pacitan pada tahun 1757 dengan sebutan Raden Tumenggung Setrowidjojo I. Pada tahun 1812, Setrowidjojo I digantikan oleh putranya Setrowidjojo II (RM Lantjoer). Setelah RM Lantjoer lengser, ia digantikan oleh Mas Ngabehi Jayaniman atau Mas Ngabehi Pancagama atau Mas Tumenggung Jagakarya I atau Kyai Kanjeng Jimat. Sejarah PacitanEksotisme
Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia ini sebagian besar wilayahnya merupakan karst, yang menjadi bagian dari rangkaian Pegunungan Sewu. Hal ini menyebabkan tanah Pacitan kurang cocok untuk bertani.
Pacitan dikenal sebagai kota 1001 gua. Beberapa yang terkenal yakni Gua Gong, Gua Tabuhan, Gua Kala, dan Gua Luweng Jaran. Di daerah pegunungan ini juga sering kali ditemukan fosil manusia purba dan alat-alat purbakala.