Abraham Samad: Revisi UU Buat KPK Mati Suri
"DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan Rancangan Undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik Undang-undang KPK," kata Samad.
Mantan Pimpinan KPK Abraham Samad menyoroti revisi UU KPK yang baru disetujui DPR. Menurutnya, beberapa pasal yang akan direvisi membuat KPK mati suri. Dia meminta DPR menyelesaikan rancangan UU yang masih menjadi pekerjaan rumah ketimbang mengutak-atik UU KPK.
"DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan Rancangan Undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik Undang-undang KPK dan akan berhadapan dengan masyarakat," kata Samad dalam keterangan tertulis, Jumat (6/9).
-
Apa saja kasus besar yang diungkap Abraham Samad saat jadi Ketua KPK? Di antaranya Wisma Atlet, kasus Hambalang, gratifikasi impor daging sapi, gratifikasi SKK Migas dan kasus pengaturan Pilkada Kabupaten Lebak.
-
Kapan KPK menahan Mulsunadi? "Untuk kebutuhan penyidikan tim penyidik melakukan penahanan MG untuk 20 hari pertama terhitung tanggal 31 Juli 2023 sampai dengan 19 Agustus 2023
-
Dimana penggeledahan dilakukan oleh KPK? Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut penggeledahan kantor PT HK dilakukan di dua lokasi pada Senin 25 Maret 2024 kemarin. "Tim Penyidik, telah selesai melaksanakan penggeledahan di 2 lokasi yakni kantor pusat PT HK Persero dan dan PT HKR (anak usaha PT HK Persero)," kata Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (27/3).
-
Kenapa Mulsunadi ditahan KPK? Untuk kebutuhan penyidikan tim penyidik melakukan penahanan MG untuk 20 hari pertama terhitung tanggal 31 Juli 2023 sampai dengan 19 Agustus 2023
-
Siapa yang ditahan oleh KPK? Eks Hakim Agung Gazalba Saleh resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (30/11/2023).
-
Kapan Gazalba Saleh ditahan oleh KPK? Eks Hakim Agung Gazalba Saleh resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (30/11/2023).
Samad menanggapi sejumlah pasal-pasal dalam UU KPK yang akan direvisi. Pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan di bawah Presiden. Kedua, terkait penyadapan yang harus mengantongi izin dari Dewan Pengawas KPK.
"Kedua, masalah penyadapan. Revisi ini menghendaki penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana. Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan LHKPN sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja KPK," ujarnya.
Dia juga khawatir dengan revisi pasal soal pembentukan dewan pengawas KPK. Dewan Pengawas KPK ini rencananya berjumlah lima orang ini dibantu oleh organ pelaksana pengawas.
Keenam, revisi membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
Menurut Samad, poin-poin tersebut akan mengebiri kewenangan KPK. Salah satunya jika KPK akhirnya berada di struktur eksekutif.
"Poin revisi pertama, kedua, kelima dan keenam, jelas akan membuat KPK mati suri. Mengapa? Siasat Pertama, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, maka status independen KPK otomatis hilang," katanya.
Padahal, kata dia, independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan antikorupsi. Ketika KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif. Seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.
"Pada situasi ini KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor. KPK juga akan berbenturan dengan Kejaksaan yang memang design konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam 'perebutan pengaruh'," ucapnya.
Samad menyebut KPK akan diubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi. Yaitu mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih.
"Siasat Kedua, revisi hendak melumpuhkan sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas," ucapnya.
Selain itu, Samad menilai, perumus naskah revisi UU KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK. "Sebelum penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja; kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima Pimpinan. Jadi sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," jelasnya.
Siasat ketiga, lanjut dia, revisi UU KPK yang hendak membentuk Dewan Pengawas KPK untuk mengawasi kinerja pemberantasan korupsi tidak jelas urgensinya.
"Apa urgensi membentuk badan pengawas saat KPK sudah memiliki dewan penasihat? Jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, siapa yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan? KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada Pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang. Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP “zero tolerance” kepada semua terperiksa, tidak terkecuali pimpinan," paparnya,
Kemudian, menurutnya, revisi pasal untuk memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam jangka waktu tertentu sama seperti Polri dan Kejaksaan. "Ini sama dengan wewenang yang dimiliki Kejaksaan dan Kepolisian, wewenang yang sering disorot masyarakat sipil," tandas dia.
Reporter: Delvira Hutabarat
Baca juga:
Jokowi Soal Revisi UU KPK: Saya Harap DPR Punya Semangat Perkuat KPK
Fahri Hamzah Klaim Jokowi Setuju Revisi UU KPK
Revisi UU KPK, Istana Minta Publik Tak Khawatir karena Jokowi Belum Respons
Istana Sebut Kekhawatiran Soal Revisi UU KPK Tidak Diperlukan
Jokowi Dituntut Tolak Teken Surpres Bahas RUU KPK