Analisa akademisi UGM soal tragedi Tolikara
Mereka menilai ada kepentingan politik lokal memanfaatkan simbol agama menjelang pemilihan kepala daerah di Tolikara.
Perayaan Idul Fitri 1436 Hijriah di Kabupaten Tolikara, Papua, tercoreng atas insiden pembakaran puluhan kios hingga merembet ke musala saat jemaah tengah melantunkan takbir Salat Idul Id, Jumat (17/7) sekitar pukul 07.00 WIT. Selain menghanguskan kios dan musala, seorang warga tewas dan mengalami luka akibat insiden itu.
Hingga kini polisi masih menyelidiki peristiwa ini dengan memeriksa sejumlah saksi dari lokasi kejadian. Sejumlah tokoh agama dan adat dengan didampingi kepolisian langsung melakukan rapat guna membahas kasus tersebut.
Banyak pihak mengaitkan tragedi di Tolikara dengan konflik agama yang sebetulnya sudah lama terpendam. Akan tetapi tak sedikit pihak yang menilai insiden di Tolikara merupakan kepentingan oknum tertentu dengan memanfaatkan keragaman umat agama di wilayah setempat.
Sementara itu, sejumlah akademisi Pascasarjana dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang fokus membahas soal agama dan lintas budaya melihat insiden yang terjadi di Kabupaten Tolikara bukan cuma soal konflik agama semata. Konflik yang terjadi di Tolikara sama halnya dengan kasus penyerangan sebuah komunitas Syi’ah di Sampang, kasus Gerjea HKBP Filadelfia di Bekasi, dan kasus pembangunan Masjid Nur Musafir di Batulpat, Kupang. Yang mana dari ketiga kasus tersebut ada kepentingan politik lokal memanfaatkan simbol agama menjelang pemilihan kepala daerah.
"Ketiga kasus itu menunjukkan bagaimana konflik terjadi karena bertemunya kepentingan-kepentingan politik lokal dengan (manipulasi) simbol keagamaan. Pilkada di daerah-daerah itu menyediakan kesempatan bagi berkembangnya jenis politik identitas yang buruk. Dengan demikian faktor pentingnya di sini adalah politik lokal (yang biasanya memanas di sekitar waktu Pilkada)," seperti dikutip merdeka.com dari laman Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), Minggu (19/7).
Dalam kasus-kasus lain mungkin ada faktor sosial-politik-ekonomi lain. Inilah rumusan yang cukup kuat untuk digeneralisir dimana apa yang disebut 'konflik agama' mungkin memiliki unsur identitas agama, tetapi jarang menjadi penyebab utama. "Menyebut konflik agama seperti ini sebagai diakibatkan intoleransi adalah penjelasan yang terlalu mudah—sama halnya dengan konflik-konflik agama di banyak tempat lain."
Dalam kasus di Tolikara, konteks penting adalah kompleksitas dan kerentanan persoalan Papua pada umumnya. Kerentanan ini, seperti bisa dilihat dalam beragam kasus-kasus non-agama lainnya di Papua, kerap direspon oleh aparat keamanan secara represif dengan menggunakan senjata untuk melukai atau membunuh. Secara lebih khusus, Kabupaten Tolikara sendiri cukup rawan-politik, seperti tampak dalam konflik di sekitar Pilkada pada Februari 2015, klik beritanya disini.
"Satu kecenderungan lain adalah adanya persaingan antara Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang mendominasi di daerah itu dengan kelompok agama lainnya (termasuk dengan Kristen denominasi yang berbeda). Situasi ini bisa jadi sudah menyediakan lahan yang siap diolah sewaktu-waktu untuk meletusnya konflik jenis apapun."