Banyak kos-kosan 'liar' di Tebet, rawan jadi ajang prostitusi
Hal ini diperparah dengan RT/RW setempat yang tak paham betul dengan wilayah mereka.
Kawasan Tebet, yang menurut sebagian orang Jakarta merupakan salah satu sudut dari segitiga emas selain Pondok Indah dan Senayan, merupakan daerah di Jakarta yang mengalami perkembangan cukup pesat dalam dua dekade terakhir.
Hal itu bisa dilihat dari menjamurnya sejumlah pusat waralaba, restoran, salon kecantikan, bahkan hingga segala infrastruktur khas anak gaul berupa tempat nongkrong, yang banyak bertebaran di sela-sela kawasan antara Pancoran dan Manggarai ini.
Tebet yang sebelumnya hanya dikenal sebagai kawasan sekolah-sekolah keren milik pemerintah, seperti SMPN 115, SMAN 26 dan SMAN 8 (Bukit Duri), serta gudangnya warnet-warnet bertarif murah era milenium awal, kini bertransformasi menjadi kota kecil yang seakan bisa menghidupi kebutuhannya sendiri dengan banyaknya lapangan usaha di tiap petak wilayahnya.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi semacam itu pun pastinya dibarengi dengan dampak yang akan timbul, baik secara positif ataupun negatif. Untuk dampak yang terakhir itu, ternyata salah satunya malah berkaitan dengan fenomena menjamurnya rumah indekos, baik yang sewanya perbulan bahkan perhari di kawasan Tebet itu sendiri.
Layaknya modus serupa di kota-kota lainnya, kamar kost sewaan seakan telah lumrah menjadi ajang kohabitasi (kumpul kebo) atau bahkan prostitusi terselubung oleh para penghuninya. Apalagi, maraknya jasa Pekerja Seks Komersil (PSK) akhir-akhir ini, yang mencari pelanggannya via internet (sosmed), nyatanya tak luput menjadikan rumah-rumah indekos di sekitaran Tebet itu sebagai ajang transaksi bagi para penyedia dan pengguna jasanya.
Sebut saja kisah tragis yang menimpa Deudeuh Alfisahrin alias Mpi alias Tata pada seminggu yang lalu, Sabtu (11/4). Deudeuh yang merupakan wanita bookingan seperti yang diakui di akun socmed-nya itu, dihabisi oleh salah seorang pelanggannya di kamar kost yang disewanya, dan dijadikan tempatnya menerima tamu-tamu hidung belang yang menyewa jasanya.
Seorang Ketua RT di Kelurahan Tebet Timur, Ibu Karsinah mengatakan, sebagai pengurus RT di wilayah itupun dirinya mengaku tak terlalu paham dengan adanya pola prostitusi di sejumlah rumah indekos, yang bermunculan di sekitar kawasan Tebet itu.
Pengurus RT dimana kamar indekost Deudeuh berada dalam wilayah kerjanya itu mengaku, biasanya para pengurus rumah-rumah indekos itu memang tidak terlalu kooperatif dengan pengurus RT setempat, mengenai data-data kependudukan dari si penyewa kamar kosnya. Hal itu bisa dikarenakan si pengurus malas mengurusinya ke Ketua RT setempat, maupun mereka lalai untuk menerapkan tertib administrasi kepada para penyewa kamar kosnya.
"Denger-denger aja, memang ada kabar bahwa di sini suka dijadikan tempat begituan. Tapi sampai sekarang karena aman-aman saja, ya kita juga biasa aja. Tempatnya nggak nyatu sih sama pemukiman warga," ujar Karsinah saat ditemui di kediamannya di Tebet Utara, Jakarta Selatan, Kamis (16/4).
Ketika ditanya kawasan mana saja di sekitar Tebet ini yang marak dijadikan rumah sewa indekos, Karsinah mengaku tidak terlalu paham pemetaan wilayah mengenai perkembangan rumah-rumah indekos di kawasan Tebet itu. Namun dirinya mengaku, di wilayah sekitarnya memang ada beberapa rumah yang akhirnya disewakan perbulan.
"Banyaknya berapa saya kurang ngerti. Cuma di pinggir Jalan Tebet Utara ini memang ada beberapa. Jumlah pastinya saya nggak tahu. Di RT 06 sebelah sana juga ada beberapa kosan lagi soalnya," ujar Karsinah.
Hal tersebut diamini oleh Bu Tarno, seorang pemiliki warung kelontong tepat di seberang rumah kost, dimana Tata atau Deudeuh ditemukan tewas. Dirinya mengatakan, fenomena menjamurnya rumah indekos di daerah Tebet memang terbilang pesat. Dirinya bahkan mengaku mengetahui beberapa rumah indekos lainnya di sepanjang Jalan Tebet Utara itu sendiri.
"Beberapa rumah di daerah sini yang jadi kost-an itu rumah bernomor 15C, 16C, 18C, 29C, 30C. Rata-rata harga sewanya Rp 2,5 juta perbulan," ujar Bu Tarno.
Maraknya usaha penyewaan jasa kamar indekos di kawasan Tebet ini, diakui pula oleh Arvaly Baby (29), seorang pekerja di bilangan Sudirman. Sebagai seorang yang suka 'ngafe' dan nongkrong di Kawasan Tebet, dirinya mengakui bahwa di kawasan Tebet Barat, ternyata ada rumah indekost atau semacam rumah transit yang menyewakan kamarnya dalam hitungan per enam jam.
Baby bahkan mengaku menjadi salah satu pelanggan setia dari tempat penyewaan kamar tersebut, yang kerap digunakannya saat pulang dari tempat hiburan malam saat akhir pekan.
"Ya kalau pulang dugem, buat magiin (menunggu pagi) sih lumayan. Soalnya kan agak nggak enak juga pulang ke rumah kondisi begitu. Jadi nunggu agak baikan, ya singgah aja dulu disitu," ujarnya blak-blakan kepada merdeka.com.
"Lumayan murah sih, sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu per enam jamnya. Kamarnya juga banyak, ada kali sampai 40-an kamar di situ," pungkasnya.
Fenomena menjamurnya rumah-rumah indekos yang tak terpantau oleh pengurus RT/RW setempat seperti ini, diyakini sebagai pemicu dari merebaknya praktik prostitusi, yang memanfaatkan media sosial sebagai ajang promosinya, dan kamar kos sebagai tempat eksekusinya.
Kasus Deudeuh kiranya dapat dijadikan rujukan, mengenai kenyataan sebenarnya di lapangan, dimana kawasan yang kekerabatan sosialnya tak terlalu erat seperti beberapa wilayah di Tebet ini, membuat komunikasi antara pengurus RT/RW setempat dan pengelola rumah-rumah indekos itu tak terjalin dengan baik.
Padahal, dalam masalah kependudukan di Jakarta ini, rumus baku "1x24 Jam, Tamu Harap Lapor RT/RW setempat" sebenarnya masih sangat berlaku dan harus selalu diterapkan oleh seluruh pamong pemerintahan terkecil itu. Namun hal itu seakan menjadi isapan jempol belaka, dimana kesenjangan sosial yang semakin merajalela, membuat slogan urban semacam "Elo elo gue gue" menjadi stereotipe dan entah mengapa, diamini oleh sejumlah masyarakat.
Baca juga:
Keluh kesah warga soal prostitusi terselubung di Tebet
Cerita Deudeuh, tewas dibunuh 'pelanggan' di kos mewah Tebet
Tebet, konon dulu tempat para selingkuhan ngumpet
Tebet, dahulu dan kini
-
Kapan Kirab Tebu Temanten dilakukan? Acara ini digelar pada Selasa Selasa (23/4).
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Apa yang menjadi ciri khas kerajinan tembaga di Desa Tumang? Ciri khas dari kerajinan tembaga di Tumang adalah teksturnya yang khas. Tekstur itu tidak bisa ditemukan pada kerajinan logam manapun. Selain itu, alat-alat yang digunakan untuk membuat kerajinan itu juga hanya ada di Tumang dan tak dijual di toko-toko manapun.
-
Kapan benua ini tenggelam? Sekitar 70.000 tahun yang lalu, daratan luas yang kini tenggelam di lepas pantai Australia kemungkinan pernah ditinggali setengah juta manusia.
-
Di mana letak Desa Teluk Tifu? Mengutip Indonesia.go.id, Desa Teluk Tifu dapat dicapai sekitar tiga jam perjalanan dari Kota Namlea.
-
Mengapa wisata Tebing Masigit dikatakan menantang? Wisata hammock Gunung Masigit terbilang menakutkan lantaran berada di atas ketinggian.