Bekuk buronan Rp 1,05 T, Jaksa Agung bilang 'tidak ada tempat aman dan tidur nyenyak'
Bekuk buronan Rp 1,05 T, Jaksa Agung bilang 'tidak ada tempat aman dan tidur nyenyak'. Prasetyo mengungkapkan, pihaknya pun tak hanya mengejar terhadap para buronan saja. Melainkan juga akan mengambil harta atau aset milik para buronan korupsi sekaligus harus membayar denda yang sudah ditentukan.
Kejaksaan menangkap Thamrin Tanjung buronan korupsi pengelolaan jalan Tol Lingkar Luar Jakarta Seksi Pondok Pinang-TMII senilai Rp 1,05 triliun, Selasa (10/7) malam. Jaksa Agung H.M Prasetyo mengatakan, akan terus melakukan pencarian dan penangkapan terhadap para buronan.
"Kita akan cari terus, kita berikan pesan pada mereka bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para buron ini. Mereka tidak merasa aman dan tidur nyenyak, kita akan kejar terus sampai betul-betul mereka bisa kita eksekusi sampai dengan putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (12/7).
-
Siapa yang mengapresiasi langkah Jaksa Agung? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengapresiasi langkah Jaksa Agung yang tidak memberikan toleransi terhadap jaksa yang diduga terlibat korupsi.
-
Apa itu bakwan jagung? Bakwan jagung adalah salah satu jenis gorengan yang banyak digemari.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Kapan Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung? Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung pada periode 2007-2010.
-
Apa makna dari nama Pura Agung Jati Pramana? Penamaan Pura Agung Jati Pramana memiliki arti kuat, yakni “mengagungkan Tuhan”, ”meninggikan jati diri manusia” dan “kekuatan”. Secara utuh, Agung Jati Pramana adalah kekuatan diri untuk memuja dan mengagungkan Tuhan.
-
Apa yang dimaksud dengan jerawat punggung? Jerawat punggung adalah suatu kondisi kulit di mana terdapat timbulan berupa kemerahan, bengkak, bahkan berisi nanah pada bagian punggung.
Prasetyo mengungkapkan, pihaknya pun tak hanya mengejar terhadap para buronan saja. Melainkan juga akan mengambil harta atau aset milik para buronan korupsi sekaligus harus membayar denda yang sudah ditentukan.
"Tentunya bukan hanya untuk orangnya, kita juga akan kembangkan bagaimana kita mengejar asetnya. Khususnya para napi koruptor di samping hukuman dia juga harus membayar denda dan uang pengganti. Ini kan sudah berhasil kita tagih yang pengganti yang kita tagih suka atau tidak mau atau tidak mereka harus bayar," ungkapnya.
Dia mengatakan, apabila buronan korupsi tersebut tak mampu untuk membayar denda atau uang pengganti yang sudah ditentukan. Maka orang tersebut akan mendapatkan tambahan kurungan penjara.
"Karena kalau tidak ya kita sita barang dia, kita bisa minta diganti dengan hukuman kurungan pengganti, tinggal pilih saja. Kita melelang atau mereka bayar," ucapnya.
Dalam hal tersebut, dirinya pun memberikan contoh saat pihaknya melakukan penangkapan terhadap terpidana korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono. Karena saat itu pihaknya telah mengeksekusi uang pengganti sebesar Rp 87 miliar.
"Cukup banyak sudah (berapa duit), seperti kemarin yang Samadikun Hartono itu ya, itu buron sekian lama sempat kita tangkap dengan waktu itu pak Sutiyoso, kemudian berikutnya bagaimana uang pengganti yang harus dibayar mereka itu kemudian dipenuhi kewajibannya dan harus dipenuhi," jelasnya.
Karena jika tidak dipenuhi, pihaknya juga akan melakukan perampasan harta untuk dilakukan pelelangan. Mulai dari rumah dan barang berharga lainnya yang memiliki nilai yang cukup tinggi atau setidaknya bisa mengganti kerugian negara yang sudah dikorupsinya.
"Kalau enggak saya sampaikan rumahmu saya rampas saya sita dan saya lelang, begitupun dengan yang namanya Sujono Timan, dia datang sukarela menyerahkan mengikhlaskn uang yang saat ini sudah kita setorkan ke kas negara," tandasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan mengamankan buronan korupsi pengelolaan jalan Tol Lingkar Luar Jakarta Seksi Pondok Pinang-Jagorawi (JORR) Pondok Pinang-TMII senilai Rp 1,05 triliun, Thamrin Tanjung.
"Yang bersangkutan diamankan di Cilandak Town Square (Citos) Jakarta Selatan, Selasa (10/7) pukul 21.50 WIB," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Jakarta Nirwan Nawawi kepada Antara di Jakarta, Selasa (10/7) malam.
Selanjutnya, kata dia, yang bersangkutan dibawa ke Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan proses hukum lebih lanjut.
Ia mengatakan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap Thamrin Tanjung itu sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 720K/Pid/2001 Tanggal 11 Oktober 2001.
Thamrin Tanjung merupakan terpidana dalam kasus tindak pidana korupsi dalam penerbitan CP-MTN PT Hutama Karya dengan nilai Rp 1,05 triliun dan 471.000.000 dolar AS yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Terpidana dikenai hukuman pidana penjara selama 2 tahun, pidana denda Rp25 juta subsider 6 bulan penjara dan uang pengganti sebesar Rp 8 miliar.
Kasus jalan tol JORR S merupakan kasus lama. Pada tahun 1998, saat PT Jasa Marga mengambil alih aset tersebut yang sebelumnya merupakan barang sitaan negara atas ketidakmampuan oknum melunasi utang untuk pembangunan jalan tol kepada BNI.
Pihak yang berutang adalah PT Marga Nurindo Bhakti dengan mengambil kredit dari BNI senilai Rp 2,5 triliun. Pada kenyataannya dari pinjaman sebesar itu, diketahui hanya Rp 1 triliun untuk pembangunan tol, sisanya tidak diketahui.
PT MNB tidak bisa mengembalikan uang pinjaman itu hingga tol disita dan diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN mengembalikan proyek tersebut kepada negara, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Jasa Marga pada tahun 1998.
Baca juga:
Tangkap buronan Thamrin Tanjung, Kejagung bilang 'bukti kita tidak mendiamkan'
Soal eksekusi mati, Jaksa Agung akan temui Aman Abdurrahman
HM Prasetyo sebut pelanggaran HAM masa lalu bukan PR Kejagung
RUU KUHP, Jaksa Agung bantah perkara korupsi bakal diadili di peradilan umum
Jaksa Agung minta KPK tak khawatir soal pasal korupsi di revisi KUHP
Jaksa Agung dan Wakapolri hadiri open house Ketum NasDem Surya Paloh
Tragedi Talangsari hingga Mei '98, Jaksa Agung tunggu laporan Komnas HAM