Cerita Guru Besar FK UI Dibully Senior Saat PPDS: Wajib Sediakan Es Krim Seliter Kalau Mau Belajar Operasi Sesar
Peristiwa itu terjadi saat dirinya menjadi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Iman Santoso mengaku pernah menjadi korban perundungan dokter senior. Peristiwa itu terjadi saat dirinya menjadi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Budi Iman Santoso menceritakan, ketika menjadi mahasiswa PPDS dan sedang belajar tentang partus atau persalinan di bagian sesar, seniornya pernah meminta es krim jika kemampuannya belum sesuai.
- Usai Heboh ‘Pemalakan’ Dokter Aulia, Dekan FK Undip Kini Atur Besaran Iuran Mahasiswa PPDS
- Menguak Fakta di Balik Kasus Bunuh Diri Dokter Muda Undip, Diduga Korban Perundungan hingga Sempat Curhat ke Ibunya
- Ini Sosok Dokter ARL Mahasiswi PPDS Undip Diduga Bunuh Diri karena Dibully Senior
- Mahasiswi Kedokteran Undip Diduga Bunuh Diri karena Dibully Senior, Pakar Kesehatan Minta Pelaku Dihukum
“Saya teringat saat zaman kuliah dulu, jika mau belajar sesar harus menyediakan satu liter es krim untuk senior,” kenang Budi Iman Santoso usai memberikan kuliah umum di FKUI Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (12/9).
“Ketika selesai partus, saya biasanya akan bertanya kepada senior ‘sudah bisa belum?’ lalu dijawab (oleh seniornya) ‘belum bisa’, maka saya harus membelikan senior itu es krim sesuai yang dia minta, itu terus berlaku hingga senior menjawab kalau saya sudah bisa,” sambungnya.
Di benak Budi Iman Santoso saat itu, dia tak menganggap perlakuan dari seniornya sebagai tindakan perundungan. Dia tetap berpikir positif dan berusaha sekuat tenaga hingga bisa melakukan tindakan partus dan sesar hingga benar.
Menurutnya, sebagai senior, sudah semestinya seorang dokter memberikan transfer pengetahuan kepada para junior mengingat profesi tersebut menyangkut nyawa banyak orang.
“Dalam otak saya itu, selalu dari awal saya tanamkan bahwa guru-guru saya, senior-senior itu lebih baik dari saya, maka dia wajib memberikan satu kemampuan atau kompetensi, ada transfer of knowledge atau skill gitu, ya, dan saya tidak akan meniru kalau ada yang jelek, manusia mana ada yang sempurna,” paparnya, dikutip dari Antara.
Dorong Bentuk Regulasi Hapus Perundungan
Budi Iman Santoso menyatakan pentingnya regulasi yang tegas untuk menghapus perundungan atau bullying di dunia pendidikan kedokteran.
“Satu, regulasi yang mengatur itu harus ada, kemudian ada sanksi yang diterapkan. Kalau hanya aturan tapi enggak diberi sanksi, enggak diterapkan, ya, percuma. Namun sebelum itu, tentu saja harus ada sosialisasi, pembinaan dulu,” kata dia.
Budi Iman Santoso kemudian mengisahkan pengalamannya saat menjadi Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI yang dengan tegas menghapus perundungan. Sebagai senior, dia merasa perlu mengayomi para peserta PPDS dengan tidak melanggengkan budaya perundungan yang dulu juga pernah dialaminya.
“Dulu di Departemen Obsgin FKUI sudah tidak ada lagi perundungan pada saat saya menjadi kepala departemen. Waktu saya menjadi pimpinan, saya balik, bukan junior yang menanggung itu semua (kebutuhan dokter senior), tetapi senior yang menanggung. Kalau saya jaga, datang ada PPDS saya, saya selalu bawa pisang lima kotak,” ujar dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono menegaskan, perundungan tidak boleh terjadi di PPDS manapun di seluruh Indonesia.
Hal itu ditegaskan Wamenkes Dante menyikapi dugaan perundungan terhadap mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dr Aulia Risma Lestari yang hingga saat ini masih dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian.
"Kita ingin bahwa perundungan itu tidak akan ada di Program Pendidikan Dokter Spesialis di seluruh Indonesia," kata Wamenkes Dante kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/9).