Rektor Undip Buka Suara Soal Kasus Perundungan dr Aulia Risma: Buat Apa Kami Tutupi
Dokter Aulia diduga bunuh diri di indekos Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang, karena dibully senior pada Agustus 2024.
Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Suharnomo akhirnya buka suara soal dugaan perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi dr Aulia Risma Lestari hingga meninggal dunia.
Suharnomo mengatakan, Undip menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang berwenang. Termasuk soal dugaan pemalakan senior Fakultas Kedokteran (FK) Undip terhadap dr Aulia.
Suharnomo menegaskan, Undip membuka diri dan bersikap kooperatif sejak kasus kematian dr Aulia terungkap. Dia mengaku heran muncul tuduhan Undip menutup-nutupi peristiwa tersebut.
"Untuk apa kami menutupi-nutupi, Undip itu badan hukum milik negara. Ini milik kita bersama, jadi buat apa kami menutupi sesuatu," kata Suharnomo, Senin (2/9).
Suharnomo mengingatkan kasus kematian dr Aulia sudah menjadi bola liar yang berpotensi merugikan semua pihak. Jika itu dibiarkan, kata dia, bukan saja penyelenggara pendidikan tinggi yang dirugikan, tetapi efeknya bisa kemana-mana. Termasuk mengganggu komitmen untuk menyediakan dokter spesialis yang dicanangkan pemerintah.
"Kita juga punya kewajiban moral menjaga rasa hati keluarga almarhumah dokter Aulia yang pasti akan lebih suka jika apa yang mereka alami menjadi sesuatu yang dikenang karena membawa kebaikan dalam kehidupan bersama," ucapnya.
Suharnomo mengajak semua pihak mengakhiri perdebatan yang tidak produktif, melakukan evaluasi, dan kembali menatap ke depan melakukan hal-hal yang menjadi tugas dan kewajiban masing-masing.
"Ajakan ini bukan untuk kepentingan Undip. Kampus ini lahir untuk mengabdi kepada bangsa, negara dan umat manusia melalui bidang pendidikan. Undip ini statusnya badan hukum milik negara, namun keberadaannya didedikasikan untuk masyarakat," katanya.
Menurut dia, momentum evaluasi bersama yang dimaksudkannya tidak hanya terkait penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis, namun juga untuk semua pemangku kepentingan.
"Tidak bijaksana kalau peristiwa ini menjadi wacana dan polemik serta perdebatan semata. Jangan pula menjadi bahan untuk menyalahkan satu dan lainnya," ujar dia.
Sebagai informasi, dr Aulia diduga bunuh diri di indekos Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang, karena dibully senior pada Agustus 2024. Kasus kematian ini masih ditangani Polda Jawa Tengah.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan temuan sementara dalam proses investigasi kematian dr Aulia. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, pihaknya menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam program PPDS kepada dr Aulia.
"Permintaan uang ini berkisar antara Rp20-Rp40 juta per bulan," kata Nadia kepada merdeka.com, Minggu (1/9).
Berdasarkan keterangan saksi, permintaan ini berlangsung sejak dr Aulia masih di semester pertama pendidikan atau sekitar Juli hingga November 2022. Saat itu, lanjut Nadia, dr Aulia ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya.
Korban juga bertugas menyalurkan uang tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan non-akademik antara lain membiayai penulis lepas membuat naskah akademik senior, menggaji office boy, dan berbagai kebutuhan senior lainnya.
"Pungutan ini sangat memberatkan almarhumah dan keluarga. Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan tersebut dengan nilai sebesar itu," jelas Nadia.
Nadia menyebut, bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses lebih lanjut.
"Investigasi terkait dugaan bullying saat ini masih berproses oleh Kemenkes bersama pihak kepolisian," kata Nadia.