Demam batu akik, kawasan situs prasejarah mulai ikut dijarah
Para pemburu batu akik telah mencongkel batuan di sekitar perbukitan yang ada di kawasan situs prasejarah.
Merebaknya tren batu klawing di masyarakat Purbalingga, Jawa Tengah, ternyata berdampak serius. Lantaran para pemburu klawing kini mulai merambah situs prasejarah di wilayah Purbalingga.
Dari laporan yang ada, di dua kawasan situs yang dirambah tersebut adalah situs Ponjen di Desa Ponjen Kecamatan Karanganyar dan situs Limbasari di Desa Limbasari Kecamatan Bobotsari. Kedua situs tersebut, selama ini dikenal sebagai situs purba zaman prasejarah yang kerap ditemukan perkakas dari zaman batu.
Kepala Desa Limbasari, Halimah mengatakan pemburu batu akik saat ini mencapai wilayah situs di sungai Tutung Gunung dan sungai Patrawangsa yang merupakan bagian hulu Sungai Klawing. Dari laporan yang ada disebutkan pemburu batu akik ini bukan berasal dari luar daerah.
"Kebanyakan pemburu batu akik tersebut, bukan warga setempat. Melainkan warga pendatang dari luar Bobotsari," katanya, Selasa (23/2).
Menurut Halimah, para pemburu batu akik telah mencongkel batuan di sekitar perbukitan yang ada di kawasan tersebut. "Pemburu ini mengaku mencari jenis bebatuan yang diyakini memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti batu jenis Rijang berwarna hijau yang menyerupai batu Nagasui yang selama ini dikenal sebagai batu darah Kristus (Le Sang du Christ)," ungkapnya.
Kondisi tersebut, membuat Halimah khawatir. Lantaran banyak pemburu batu akik yang berpotensi merusak kondisi lingkungan di sekitar situs. "Bahkan, para pemburu batu ini juga sempat memunguti pecahan batu situs yang ada di desa kami," jelasnya.
Senada dengan Halimah, perangkat desa Ponjen, Tarso, mengungkapkan pencari batu sempat mengira serpihan batu Rijang merupakan batu jenis Nogosui yang konon memiliki nilai ekonomi tinggi. "Para pencari batu itu bukan warga kami. Kalau warga kami, mereka sudah paham jika batuan di situs Ponjen dilindungi UU No 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya," katanya.
Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Dinbudparpora Purbalingga, Subeno mengatakan pihaknya sudah melakukan pengecekan ke lokasi situs yang ada di kedua desa tersebut. Dari pengamatannya pihaknya, belum ditemukan kerusakan yang berarti karena ulah pemburu batu akik.
"Para pencari batu hanya mengambil serpihan batu di sekitar situs. Namun, ketika mereka tahu batuan tersebut berjenis batu Rijang yang tidak bernilai ekonomisnya, mereka mengembalikannya. Meski batu Rijang tidak bernilai ekonomis, tetapi dari sisi sejarah, nilainya sangat besar," ujarnya.