Dicecar soal kerja sama penanganan korupsi, ini jawaban Jaksa Agung
Komisi III DPR mencecar Jaksa Agung M Prasetyo soal teknis dan efektivitas koordinasi dalam nota kesepahaman (MoU) penanganan tindak pidana korupsi ditekennya bersama Polri dan KPK. Sebab, MoU itu dikhawatirkan menjadi alat untuk mengamankan anggota dari masing-masing intitusi jika melakukan korupsi.
Komisi III DPR mencecar Jaksa Agung M Prasetyo soal teknis dan efektivitas koordinasi dalam nota kesepahaman (MoU) penanganan tindak pidana korupsi ditekennya bersama Polri dan KPK. Sebab, MoU itu dikhawatirkan menjadi alat untuk mengamankan anggota dari masing-masing intitusi jika melakukan korupsi.
Prasetyo mengatakan nota itu hanya untuk meningkatkan sinergitas ketiga lembaga dalam menangani kasus korupsi. Apalagi, MoU itu tidak membatasi upaya Operasi Tangkap Tangan (OTT). Penyidik tetap bisa melakukan OTT terhadap anggota lembaga penegak hukum tanpa harus memberitahu pimpinan lembaga terkait.
"Ini untuk meningkatkan sinergitas. E-SPDP ini juga saya katakan, ini maksudnya utnuk pengontrol masing pihak utnuk meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bagi pencari keadilan," kata Prasetyo dalam rapat kerja di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/4).
Jawaban Prasetyo diinterupsi Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. Benny menilai MoU itu merendahkan kewibawaan Kejaksaan Agung. "Terus terang saja jaksa Agung menandatangi nota kesepahaman itu bukan saling melindungi saya tidak melihat itu. Tapi merendahkan kejaksaan terlalu besar taruhannya," tegasnya.
Menurutnya, dalam sistem peradilan di Indonesia, Kejaksaan adalah lembaga penuntutan tertinggi. Berdasakan UU tentang Kejaksaan telah diatur bahwa jika ada KPK atau Polri ingin menangkap, menyelidiki, menyita atau menahan jaksa melakukan korupsi maka harus seizin Jaksa Agung. Ketentuan itu juga berlaku untuk operasi tangkap tangan.
Dalam undang-undang kejaksaan pasal 8 yang saya tanya mengenai penangkapan. Jaksa diduga melakukan tindak pidana, mulai pemeriksaan penggeledahan, penyitaan, terhadap jaksa yang bersangkutan harus seizin jaksa Agung. Dalam pemahaman kita. Tidak boleh tanpa izin jaksa Agung termasuk OTT," jelasnya.
Diceritakannya, Komisi III pernah mengkritik mantan Ketua KPK Antasari Azhar saat menangkap tangan jaksa karena diduga melakukan korupsi. Dalam OTT, penyidik KPK tidak berkoordinasi dengan Jaksa Agung. Komisi III meminta Antasari patuh terhadap UU.
Itu yang dulu dilakukan saya masih ingat betul saudara Ketua KPK lama Antasari Azhar melakuka OTT dan menangkap jaksa. Menghormati dong bukan karena Anda bekas jaksa tapi UU mengatakan itu," ujar Benny.
Untuk itu, Benny menganggap Prasetyo berhak untuk tidak menandatangani MoU itu. Tujuannya demi menjaga marwah dan kewibawaan Kejaksaan Agung.
"Boleh lah Pak jaksa Agung merasa menurut saya tidak menandatangi nota dianggap kejaksaan tidak kooperatif dengan KPK. Kejaksaan haus jaga kewibawaan," tuturnya.
Prasetyo merespon pernyataan Benny. Dia menegaskan kewajiban lembaga penegak hukum yang ingin memanggil, menggeledah atau memeriksa anggota lembaga penegak harus izin pimpinan lembaga terkait bukan upaya untuk melindungi. Prasetyo pun mempersilakan penegak hukum lain memeriksa atau menggeledah anggotanya asalkan memiliki bukti yang kuat.
"Ada sebagian pihak yang memberikan komentar MoU dimaksudkan upaya melindungi saya rasa tidak. Bagaimana pun kejaksaan kami konsisten ketika anggota diperiksa penegak hukum lain silahkan asalkan ada bukti yang cukup," tutupnya.