Dilaporkan Perkosa Mantan Pacar, Bripda FN Dipecat
Selain sanksi PTDH, bintara itu juga harus menjalani penempatan khusus (Patsus) selama 30 hari.
Bidang Propam Polda Sulsel menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada Bripda FN yang dilaporkan memerkosa mantan pacarnya.
Dilaporkan Perkosa Mantan Pacar, Bripda FN Dipecat
Selain sanksi PTDH, bintara itu juga harus menjalani penempatan khusus (Patsus) selama 30 hari.
Kabid Propam Polda Sulsel Komisaris Besar Zulham Effendy menegaskan, pihaknya berkomitmen menindak Bripda FN dengan cara melakukan sidang etik dan disiplin. Apalagi, Kapolda Sulsel Irjen Setyo Boedi Moempoeni Harso telah menyetujui untuk dilakukan sidang etik dan disiplin.
- Kisah Pilu Siswi SMP di Sumsel Diperkosa Mantan Pacar dkk, Modus Ajak Ketemu Sampai Diancam Dibunuh
- Dalami Korupsi Pemanfaatan Aset di Labuan Bajo, Dua Kantor Pemda di NTT Digeledah Kejati
- 16.000 ASN, TNI dan Polri Bakal Pindah ke IKN Nusantara, MenPAN-RB: Persiapan Sudah 90 Persen
- LPSK Kabulkan Perlindungan Ketua IPW Usai Dilaporkan Aspri Wamenkum HAM
"Sesuai dengan komitmen kami dan perintah pimpinan kami akan menyidangkan Bripda FN terkait dengan pelanggaran kode etik dan disiplin. Tadi kita tahu bersama putusannya adalah PTDH," ujarnya kepada wartawan di Mapolda Sulsel, Selasa (24/10).
Zulham mengungkapkan dalam sidang digelar tadi, terdapat dua putusan. Pertama, putusan pemberian sanksi etika. Kedua, memberikan sanksi administratif yakni PTDH dan Patsus selama 30 hari.
"Jadi ada dua putusan, sanksi etika itu perbuatan tercela. Kemudian bersifat administratif PTDH dan penempatan khusus selama 30 hari," ungkapnya.
Zulham mengungkapkan sanksi diberikan karena pertimbangan Pasal 13 Peraturan Polri Nomor 1 Tahun 2003. Tak hanya itu, Bripda FN juga dikenakan Pasal 5, 8, dan 13 Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022.
"Kemudian pada saat persidangan kita melihat yang bersangkutan tidak ada etika untuk meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Kita kasih peluang, tapi tidak diambil."
Kabid Propam Polda Sulsel Komisaris Besar Zulham Effendy.
Zulham juga mengungkapkan pelanggaran dilakukan Bripda FN sebenarnya sudah terjadi saat mendaftar polisi. Alasannya, Bripda FN sudah melakukan hubungan badan dengan korban meski belum suami istri.
"Kemudian pada saat kronologis, dia sudah melakukan hubungan badan layaknya suami istri sebelum menjadi anggota Polri itu dasar pertimbangan kita untuk memutuskan yang bersangkutan PTDH. Artinya sebelum masuk menjadi anggota Polri dia sudah membuat dan mengisi data tidak benar pada saat penelusuran mental dan kepribadian. Sementara ada aturan yang mengharuskan mengisi sebenar-benarnya pada saat menjadi anggota Polri," tegasnya.
Dalam persidangan, Propam Polda Sulsel juga menghadirkan korban dan keluarganya sebagai saksi. Tak hanya itu, orang tua Bripda FN juga dihadirkan sebagai saksi. "Kita hadirkan korban, kemudian orang tuanya, baik bapak dan ibunya. Juga menghadirkan orang tua terduga pelanggar termasuk saksi rekan korban yang mengetahui bahwasanya pelaku dan korban ada hubungan," kata Zulham.
Bripda FN mengambil langkah banding. Zulham tak mempermasalahkannya.
"Silakan. Karena ada mekanismenya. Tadi dia sampaikan akan upaya banding, silakan. Kita tunggu memori bandingnya. Setelah itu kita akan sidang lagi untuk banding dari terduga pelanggar," sebutnya.
Sementara penasihat hukum korban, Makmur M Raona mengapresiasi Propam Polda Sulsel yang menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Bripda FN. Ia menilai jalannya persidangan etik dan disiplin sudah dilakukan secara profesional.
"Tentunya kami melihat bahwa betul betul bidang propam ini bekerja secara profesional. Dia telah melakukan langka-langkah yang bagaimana membersihkan anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Jadi kita apresiasi putusan ini," ujarnya.
Makmur mengaku dengan adanya putusan tersebut menunjukkan pembuktian pihaknya adalah sangat kuat. Ia pun tak mempermasalahkan Bripda FN mengambil langkah banding.
"Kalaupun ada upaya banding itu hak mereka. Tapi kami meyakini bahwa apa yang disampaikan tadi dalam putusan itu cukup kuat pembuktian yang ada, sehingga majelis dalam pimpinan kode etik ini yang memberikan putusan PTDH," tegasnya.
Makmur menambahkan setelah sidang ini, pihaknya akan fokus pada pembuktian unsur pidananya. Apalagi, kasus penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum telah menaikkan status kasus ini dari lidik menjadi sidik.
"Tentu kita akan kawal kembali ini masalah pidana umumnya. Kami dapat informasi dari penyidik bahwa dari lidik sudah ditingkatkan ke sidik," pungkasnya.