Guru Besar IAIN Minta Jangan Benturkan Kearifan Lokal dengan Nilai Agama, Takut Muncul Perpecahan
Kearifan lokal bisa menjadi menjadi benteng, atau keseimbangan dalam menjawab tantangan masyarakat modern
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya dengan budaya. Keberagaman inilah yang menjadi identitas dan daya tarik tersendiri di bumi nusantara.
Namun, ada juga kelompok menilai kearifan lokal tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Pemahaman seperti perlu dihilangkan karena tidak berdasar dan dapat memantik perpecahan antar-sesama anak bangsa.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Tengah, Khairil Anwar mengatakan, seseorang dapat menjalankan keyakinannya sambil tetap menghargai kearifan lokal yang menjadi identitas tanah airnya.
Ia mencontohkan bagaimana falsafah Huma Betang (Rumah Betang) mampu memberikan solusi pada berbagai tantangan masyarakat. Rumah Betang merupakan rumah panjang yang dihuni oleh beberapa keluarga Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
"Dalam falsafah tersebut terkandung makna kekerabatan, dan kesetaraan. Mereka mampu hidup rukun dan harmoni dalam satu atap meskipun terdiri dari beberapa keluarga dengan latar belakang dan agama berbeda," ujar Khairil, Minggu (20/10).
Khairil menambahkan, meskipun dikenal bukan etnis yang berasal dari budaya Timur, namun kearifan lokal Suku Dayak mengandung nilai-nilai luhur yang bisa diterapkan oleh seorang muslim dalam beribadah dan bernegara.
"Misalnya, bermusyawarah, gotong royong dan saling menghargai meskipun bukan pemeluk agama yang sama," kata Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalteng ini.
Dia menganggap ketakutan adanya deislamiasi dan pendangkalan aqidah dalam menjaga kearifan lokal bukanlah alasan logis. Bahkan, para Walisongo mengkolaborasikan budaya dan kearifan lokal dalam penyebaran agamanya.
"Seperti Sunan Kalijaga yang membumikan wayang dengan nilai-nilai ke-Islaman dalam kisahnya. Hal ini terbukti ampuh dalam menarik minat masyarakat kala itu yang mayoritas bukan beragama Islam," tuturnya.
Menurut Khairil, salah satu indikator dalam moderasi beragama adalah, akomodatif terhadap kearifan lokal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip agama. Tinggal bagaimana saling toleransi satu sama lain, tanpa harus mengkalim paling baik.
"Kita jangan menyalahkan tradisi atau kepercayaan orang, karena dalam Pancasila, Undang Undang 45 pasal 29, bahwa negara menjamin kepercayaan masing masing," imbuhnya.
Khairil mencontohkan Tarian Manasai dari Suku Dayak misalnya, meskipun pada dasarnya tarian tersebut menggunakan pakaian terbuka, namun dengan adanya tenggang rasa dan saling menghormati, kini banyak penari yang menggunakan pakaian tertutup.
"Jadi saya kira budayanya tetap, tapi nilai Islamnya masuk di situ," ucap Guru Besar Pemikiran Islam Kontemporer dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini.
Khairil menganggap, nilai agama, dan kearifan lokal bisa menjadi menjadi benteng, atau keseimbangan dalam menjawab tantangan masyarakat modern. Menurutnya, nilai-nilai modernisme, kemajuan teknologi, harus diseimbangkan dengan nilai etika untuk mencegah timbulnya individualisme dan egoisme di masyarakat.
"Merangkul kearifan lokal bukan berarti menanggalkan prinsip-prinsip syariat, tetapi justru memperkuat dalam kehidupan bermasyarakat," tandasnya.