Tuanku Nan Renceh, Tokoh Islam Generasi Pertama yang Menyerukan Gerakan Paderi
Sosok ulama dari Tanah Minangkabau ini begitu taat dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam dan memicu adanya gerakan Paderi.
Sosok ulama dari Tanah Minangkabau ini begitu taat dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam dan memicu adanya gerakan Paderi.
Tuanku Nan Renceh merupakan seorang ulama yang memiliki nama kecil Abdullah. Lahir pada tahun 1762 di Nagari Kamang, ia merupakan murid dari Tuanku Nan Tuo, seorang ulama terkemuka di Minangkabau.
Abdullah memiliki idealis dan pandangan yang begitu luar biasa. Ia juga dikenal sebagai sosok karismatik, dan sangat berkomitmen dalam menegakkan syariat-syariat Islam. Bahkan, namanya dikenal sebagai tokoh di balik adanya gerakan Paderi.
Pengetahuan soal agama Islam dan pengetahuan umum ia dapatkan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di Surau milik Tuanku Nan Tuo. Kemudian melanjutkan menuntut ilmu ke Ulakan Pariaman.
Dari seluruh ilmu yang ia dapatkan, Abdullah menjadi seorang guru yang telah melahirkan banyak pejuang dan tokoh-tokoh yang berjuang di Perang Paderi.
Mengutip agamkab.go.id, pada abad ke-19 telah lahir gerakan wahabi ketika tiga tokoh besar pulang dari Tanah Suci Mekkah. Ketiganya telah memperdalam ilmu wahabi di sana selama hampir 10 tahun.
Mendengar kedatangannya dari Makkah, Abdullah mendapat pelajaran tentang gerakan pemurnian gerakan Islam. Kebetulan, ajaran-ajaran tersebut masih relevan dengan ajaran kaum wahabi di Arab. Dari sinilah, Abdullah mulai mengikuti prinsip tersebut.
Pria yang memiliki tubuh kecil dan kurus ini memantik adanya gerakan untuk memberantas seluruh budaya yang dianggap tidak ada kaitannya bahkan bertolak belakang dengan ajaran Islam, khususnya di Sumatra.
Desa-desa yang dikuasai oleh Paderi ini telah menegakkan ajaran Islam yang begitu ketat. Sambung ayam, judi, penggunaan tembakau, opium, hingga minuman keras semuanya dihapuskan. Bahkan, para pendukung Paderi menggunakan atribut atau aksesoris yang bertujuan sebagai tanda.
Hingga tahun 1820, pengikutnya semakin bertambah banyak khususnya di Luhak Nan Tigo. Siapapun yang melanggar aturan, akan mendapatkan denda berupa suku atau gulden. Abdullah juga menurunkan Laskar Paderi untuk memeriksa setiap rumah dan wajib menyediakan batu setapak di depan rumah.
Mengapa demikian? hal ini bertujuan ketika Laskar Paderi sedang berpatroli, mereka akan mengecek batu setapak tersebut. Apabila basah, berarti orang yang tinggal sudah melaksanakan shalat. Jika batu itu kering, Laskar Paderi akan menginterogasi orang tersebut.
Hukum Islam semakin ketat dan begitu tinggi dengan ditetapkannya aturan jika mereka yang ingin menjadi wali nagari atau kepala pemerintahan, syaratnya harus mampu menjadi imam salat berjemaah.
Dengan menerapkan hukum Islam yang begitu ketat, beberapa hukum adat pun dirasa ada yang tidak sejalan. Hal tersebut memicu konflik, keresahan, dan ketidakseimbangan sosial hingga akhirnya terjadi perang.
Pulau Sumatra yang saat itu masih dikuasai Belanda ikut campur dalam urusan tersebut. Pendudukan kaum bangsawan pun membuat perjanjian dengan Belanda untuk melawan orang-orang Paderi tersebut.
Sebelum menyatakan perang, pihak kaum adat dan kaum Padri sempat membuat kesepakatan namun berujung nihil. Tidak tercapainya kesepakatan mengakibatkan suasana menjadi keruh dan konflik semakin tidak terhindarkan.
Kaum Paderi di bawah kepemimpinan Tuanku Lintau pun menyerang Kerajaan Pagaruyung dan perang pun pecah di Koto Tangah. Serangan ini memicu Sultan Arifin Muningsyah terpaksa kabur ke kota lain untuk menyelamatkan diri.
Abdullah mengembuskan napas terakhirnya pada tahun 1832 di kampungnya karena menderita sakit. Perannya dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam menjadi inspirasi orang-orang Minangkabau pada saat itu.
Salah satu muridnya yang mungkin sampai sekarang masih dikenal banyak orang dan masih muncul di buku-buku sejarah, yaitu Peto Syarif atau dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Saat Abdullah wafat, kondisi gerakan Paderi sudah sangat meluas dan sempat dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, murid dari Tuanku Nan Renceh.
Selain dakwahnya secara langsung, ia juga membagi ilmunya dalam bentuk buku.
Baca SelengkapnyaTak hanya di Jawa, Tanah Minang turut melahirkan tokoh-tokoh besar Muhammadiyah era perjuangan.
Baca SelengkapnyaLahir dari keluarga yang taat agama, ia menjadi sosok pengarang yang juga terjun dalam dunia keagamaan.
Baca SelengkapnyaTanah Minang memiliki banyak peninggalan sejarah yang menjadi saksi perjuangan para ulama besar dalam menyebarkan Islam di sana.
Baca SelengkapnyaDikenal sebagai budayawan yang cukup terkemuka, ia telah melahirkan buku tentang adat Minangkabau dan hubungannya dengan Syariat Islam.
Baca SelengkapnyaSang pendiri, Kiai Nur baru mendirikan surau saat puluhan santri datang untuk berguru padanya.
Baca SelengkapnyaKemenag tidak pernah membedakan kesejahteraan Guru PAI dalam hal pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG). Setiap tahun anggarannya mencapai Rp6 triliun.
Baca SelengkapnyaSebuah kesenian asli Bengkulu yang kental dengan agama Islam ini tak lepas dari sejarah kedatangannya Islam ke Kabupaten Kaur sejak ratusan tahun.
Baca SelengkapnyaSeorang ahli ulama dan tafsir Al-Qur'an ini begitu berjasa terhadap pelajaran Agama Islam agar bisa tercantum di kurikulum nasional.
Baca Selengkapnya