Ditembak saat Kumandangkan Azan, Begini Kisah Perjuangan Teungku Peukan Gelorakan Semangat Lawan Belanda
Sosoknya dikenal sebagai ulama karismatik yang memiliki rasa cinta yang begitu besar dengan agama dan negerinya.

Sosoknya dikenal sebagai ulama karismatik yang memiliki rasa cinta yang begitu besar dengan agama dan negerinya.

Ditembak saat Kumandangkan Azan, Begini Kisah Perjuangan Teungku Peukan Gelorakan Semangat Lawan Belanda
Perjuangan untuk melawan penjajah di Aceh melibatkan banyak tokoh ulama. Mereka tak segan untuk terjun ke medan perang melawan penjajah Belanda. Salah satunya adalah Teungku Peukan yang menjadi sosok penting di balik perjuangan masyarakat Aceh.
Teungku Peukan lahir di Sawang, Aceh Selatan pada 1886 dari pasangan Keuchik Adam bin Teungku Padang Ganting (ayah) dan Siti Zulaikha (ibu). Hari lahir Teungku Peukan ini bertepatan dengan fase awal peperangan Aceh dengan kolonial Belanda yang sudah berlangsung sejak 1873. (Foto: Makam Teungku Peukan/Wikipedia)
Momen yang bertepatan dengan masa peperangan dengan kolonial tentunya sangat memengaruhi watak dan polak pikir Teungku Peukan setelah menginjak usia dewasa. Ia berpegang teguh pada "kaphe" bahwa umat Islam wajib memerangi kolonial.
Sosoknya dikenal sebagai ulama karismatik yang memiliki rasa cinta yang begitu besar dengan agama dan negerinya.
Pergerakannya Diwaspadai Belanda
Sebagai seorang tokoh ulama yang cukup kondang, Teungku Peukan selalu diwaspadai oleh pihak Belanda. Mereka khawatir sosok Teungku Peukan dapat memengaruhi pergerakan masyarakat Aceh untuk melawan Belanda.
Kecurigaan besar terhadap Teungku Peukan ini membuat pihak Belanda menaruh mata-mata agar bisa memantau berbagai macam aktivitas dakwah yang ia lakukan.
Merasa diintimidasi, Teungku Peukan pun tersinggung yang menyebabkan munculnya kemarahan besar. Namun, sebelumnya Belanda sudah melakukan beberapa praktik untuk memancing emosi Peukan, seperti pengajuan penarikan pajak tanah atau belasting kepadanya.
Dari sinilah, niat Teungku Peukan untuk melawan Belanda semakin muncul. Ia langsung merancang berbagai macam strategi untuk menghadapi kolonial bersama pasukannya.
Lakukan Ritual Sebelum Penyerangan
Ia bersama pasukannya melakukan ritual berupa wirid dan berzikir sebelum melakukan penyerangan. Hal ini sebagai simbol untuk penyucian diri yang berlangsung dengan sakral.
Setelah rangkaian ritual selesai, ia bersama pasukan harus menempuh jarak 20 kilometer dengan berjalan kaki sambil membawa obor. Gema takbir tak pernah terputus selama perjalanan sebagai bentuk semangat juang. Pagi hari mereka pun tiba di Blangpidie.
Setibanya di Blangpidie, ia kembali menyusun strategi bersama pasukannya untuk menyergap bivak milik Belanda. Momen ini bertepatan ketika masih gelap gulita, sehingga banyak pasukan Belanda yang tertidur lelap.
Tepat hari Jumat, 11 September 1926 Teungku Peukan bersama pasukan lainnya mulai melakukan serangan terhadap tentara Belanda di Blangpidie. Penyerangan tersebut membuat tentara Belanda kocar-kacir.
Ditembak saat Kumandangkan Azan
Penyerangan dan penyergapan yang dilakukan oleh Teungku Peukan bersama pasukannya itu berjalan sukses karena seluruh strategi berjalan dengan baik. Sebagai ucapan rasa syukur, ia pun mengumandangkan azan di Masjid Jamid Blangpidie, yang tepat berada di depan tangsi Belanda.
Saat Teungku Peukan mengumandangkan azan, salah satu serdadu Belanda masih ada yang hidup, tanpa ragu ia langsung menembakkan senjata ke arah Peukan. Ia pun kemudian mati syahid dalam membela bangsa dan negara.
Setelah situasi mereda, jasadnya dikebumikan tak jauh dari lokasi penembakan.
Teungku Peukan berjuang sebagai sosok pahlawan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan rida dari Allah. Ia berjuang demi tanah kelahirannya dan berperang di jalan Allah.