ICW Soroti Rangkap Jabatan Komisaris BUMN dalam 2 Tahun Jokowi-Ma'aruf
Menurutnya, rangkap jabatan tersebut telah melampaui rangkap pendapatan. Selain itu, dengan adanya rangkapan jabatan tersebut disebutnya adanya suatu konflik kepentingan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti terkait rangkapan jabatan terhadap seorang pejabat publik. Hal ini disampaikan dalam Konferensi Pers '2 Tahun Jokowi-Ma'aruf Amin : Janji Palsu Pemberantasan Korupsi' secara daring.
"Terkait dengan rangkap jabatan, kita tentu masih ingat. Karena ini baru-baru juga terjadi, bagaimana seorang pejabat publik atau pegawai publik kemudian merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN," kata Peneliti ICW Lalola Easter, Selasa (19/10).
-
Dimana Presiden Jokowi bermalam di IKN? Kepala Negara Bermalam di IKN Jokowi sudah beberapa kali bermalam di IKN
-
Kenapa Jokowi memanggil Menaker Ida dan Kakak Cak Imin? Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil dua menteri Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia (Mendes-PDTT) Abdul Halim Iskandar dan Menaker Ida Fauziyah.
-
Apa yang terjadi di Bukber Kabinet Jokowi? Bukber Kabinet Jokowi Tak Dihadiri Semua Menteri 01 & 03, Sri Mulyani: Sangat Terbatas
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang mendampingi Presiden Jokowi saat tiba di GWK? Tepat pukul 18.53 WITA Presiden Jokowi tiba di GWK didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadi Mulyana, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno, dan Pj. Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya.
Dalam konteks tersebut, papar Lalola, ketika ada kritikisme muncul dari publik. Pemerintah dinilai bukannya mengambil langkah untuk mencegah keberlanjutan kejadian itu.
"Tapi malah memberikan justifikasi bahwa enggak apa-apa lho melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat publik, syaratnya saja yang kemudian 'diakali' ya bahwa seolah-olah jadi tidak ada larangan," paparnya.
Menurutnya, rangkap jabatan tersebut telah melampaui rangkap pendapatan. Selain itu, dengan adanya rangkapan jabatan tersebut disebutnya adanya suatu konflik kepentingan.
"Padahal soal rangkap jabatan itu melampaui soal rangkap pendapatan, itu lebih dari itu gitu. Karena secara konsep, rangkap jabatan itu tidak memungkinkan individu yang berada dalam jabatan publik tertentu itu perfomance dengan maksimal gitu," sebutnya.
"Dan bukan tidak mungkin karena dia menduduki dua jabatan di dua lembaga yang berbeda, keduanya adalah lembaga publik, itu bukan tidak mungkin kemudian ada konflik kepentingan gitu, muncul di situ," sambungnya.
Lalola menyebut, hal itu yang harusnya kalau kembali kepada agenda pencegahan korupsi yang selama ini selalu ditekankan oleh Presiden Jokowi, itu tidak terwujud.
"Sesimpel untuk mencegah rangkap jabatan itu terjadi saja itu tidak ada upaya ke arah sana, malah diberikan justifikasi. Mungkin perlu diingat kembali bagaimana dalam rentang waktu yang pendek ada perubahan kebijakan yang terjadi untuk perubahan statuta organisasi dalam hal ini universitasnya, kemudian diperkuat lagi dengan peraturan Menteri BUMN," sebutnya.
"Dan tak ada satu pun yang kemudian dikoreksi, bahkan untuk yang perubahan statuta itu juga levelnya diatas peraturan menteri. Jadi itu menunjukkan bahwa ada pembiaran di situ, ada keikutsertaan secara tidak langsung gitu dari presiden dalam melakukan pembiaran praktik seperti itu," sambungnya.
Dengan adanya hal seperti itu, jika berbicara soal politik hukum antikorupsi yang dimiliki Jokowi dan Ma'aruf Amin. Menurutnya hal itu masih jauh dari memuaskan.
"Tentu masih ada banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh presiden untuk membenahi kondisi, melakukan reformasi birokrasi lembaga penegak hukum yang tentu itu harus dipimpin langsung oleh presiden, tidak bisa tidak. Tidak bisa didelegasikan ke anggota kabinet selevel menteri. Karena kalau seperti itu terus, kita akan justru bertanya-tanya, lalu presiden itu komitmennya mau ditumpahkan lewat apa gitu," ungkapnya.
"Kalau misalnya hal yang sifatnya sangat substansial seperti pemberantasan korupsi itu dia tidak mau pasang badan, tidak mau memimpin langsung dan mungkin juga pada titik tertentu kita perlu bertanya. Apakah memang presiden mampu dimintakan pertanggungjawabkan untuk program-program yang sebenarnya dia restui gitu, karena mengingat kita juga sering ada dimana masa-masa presiden sendiri apa dokumen yang mau dia tandatangani gitu. Jadi jangan sampai kemudian kepercayaan publik makin menurun dengan kondisi seperti ini," tutupnya.
Baca juga:
Dua Tahun Pemerintahan Jokowi, Moeldoko Klaim Kasus Covid-19 Berhasil Dikendalikan
Jokowi Harap Akhir Tahun 70% Penduduk Telah Divaksinasi Covid-19
Survei SMRC: Pemilih Gerindra, PAN dan PPP Cenderung Tidak Puas dengan Kinerja Jokowi
Survei SMRC: 51,7 Persen Warga Percaya Keadaan Ekonomi Nasional akan Lebih Baik
SMRC: 56,2% Masyarakat Percaya Jokowi Mampu Bawa Indonesia Keluar dari Krisis
Jokowi Targetkan 600 Ribu Hektare Hutan Mangrove di Kaltara Bisa Direhabilitasi
Survei SMRC: Kepuasan Terhadap Kinerja Jokowi Menurun