Kasus dwelling time, manajemen pelabuhan diakui sudah lama bobrok
Banyak pihak yang tertarik untuk mendapatkan uang dari pelabuhan, termasuk para preman.
Polda Metro Jaya membongkar kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan terkait kasus waktu bongkar muat barang (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok. Direktur Eksekutif The Maritim National Institute (Namarin), Siswanto Rusdi mengatakan, istilah dwelling time harusnya dihilangkan.
Sebab, hal tersebut tak sesuai dengan investigasi yang dilakukan Kepolisian. Menurutnya, dwelling time hanya sebuah bagian dari manajemen pelabuhan semata.
"Istilah yang dilakukan Kepolisian gratifikasi atau pemerasan. Istilah dwelling time harus dikurangi, karena itu bukan pidana tapi good covered government," kata Siswanto di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (1/8).
Dia mengakui memang banyak pihak yang tertarik untuk mendapatkan uang dari pelabuhan, termasuk para preman.
"Yang kita warisi sikap mental Belanda dalam menata institusi pelabuhan. Jangan menjadi jongos di atas kapal," tuturnya.
Siswanto menegaskan bahwa carut-marut manajemen pelabuhan Indonesia sudah lama terjadi. Dia berharap agar Presiden Jokowi segera melakukan perbaikan secara menyeluruh.
"Menurut Undang-undang Pelayaran Nomor 23, presiden otoritas tertinggi yang melakukan koordinasi. Harus ditinjau apakah pelabuhan kekurangan sumber daya manusia atau kekurangan anggaran," paparnya.
Menurutnya dwelling time bisa selesai kalau otoritas pelabuhan berhasil melakukan koordinasi. Otoritas pelabuhan harus bisa menegur bea cukai jika lambat.
"Dwelling time bukan suatu tindakan yang bisa dipidana. Yang beredar gratifikasi dan pemerasan. Dia (dwelling time) aspek manajemen negara dalam memberikan pelayanan. Ini perlu kita luruskan. Mungkin ini kasus pertama di dunia maritim. Ada dwelling time yang menjadi pintu masuk Kepolisian," tandasnya.
Dia juga berharap agar nantinya ada keberanian pemerintah untuk mengubah Undang-undang Pelayaran.