Kasus Vonis Bebas Ronald Tannur, Ini Pendapat Guru Besar Hukum Pidana Unair
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan dan penganiayaan pacarnya, Dini Sera Afrianti.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menyoroti vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan dan penganiayaan pacarnya, Dini Sera Afrianti.
- Sambangi KY, Pengacara Dini Sera Jelaskan Pertimbangan Hakim yang Bebaskan Ronald Tannur
- Susun Memori Kasasi Vonis Bebas Ronald Tannur, Kejagung Kumpulkan Fakta Persidangan
- Rekam Jejak 3 Hakim yang Vonis Bebas Anak Eks Anggota DPR, Gregorius Ronald Tannur
- Keluarga Dini Kecewa Ronald Tannur Divonis Bebas: Tuhan akan Membalas yang Dilakukan Hakim PN Surabaya
Prof Basuki lantas berpendapat, vonis yang membebaskan terdakwa Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan dan penganiayaan terhadap Dini Sera Afrianti itu dianggap tidak berdasar hukum.
"Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri berdasarkan pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan itu tidak berdasar hukum," ungkapnya, Kamis (25/7).
Ia menjelaskan, maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah dikesampingkan majelis hakim.
"Salah satunya dia mengesampingkan terkait dengan hasil visum et revertum oleh ahli di mana ahli itu sebelum memberikan keterangan telah mengangkat sumpah, terikat dengan sumpah. Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya," tegasnya.
Ia menambahkan, melihat dalam surat dakwaan JPU, ada 4 pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, pasal 359 KUHP, dan 351 ayat 1 KUHP.
Ia menyebut, yang perlu diketahui, dari ke tiga pasal itu adalah, korbannya meninggal dunia. Sedangkan kalau kalau 351 ayat 1 itu terkait dengan penganiayaan biasa.
"Lah, 4 pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil, yaitu yang dilarang adalah akibatnya. Oleh karena itu, di dalam persidangan harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan yang diderita oleh si korban. Harus ada hubungan langsung," tandasnya.
Dalam perkara ini, tambahnya, JPU sudah mencoba upaya maksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa. Baik itu saksi, atau itu CCTV maupun visum et repertum.
"Saya membaca dari beberapa media, hasil visum et revertum dinyatakan bahwa matinya korban itu disebabkan karena hatinya mengalami pendarahan yang disebabkan karena benda tumpul," ungkapnya.
Memang, kalau di dalam visum, tidak menyebutkan pelakunya. Hanya visum itu menjelaskan mengapa korban meninggal dunia, atau penyebab korban meninggal dunia. Sehingga di dalam visum et refertum itu tidak bisa menunjuk orang," tambahnya.
Oleh sebab itu, tegasnya, untuk membuktikan siapa pelakunya maka JPU harus menggunakan alat bukti lain. Ia lantas kembali mencontohkan, jaksa sudah mengajukan alat bukti CCTV tapi juga mengajukan saksi.
"Itulah yang akan membuktikan bahwa si terdakwa itu adalah pelakunya, sehingga si korban meninggal dunia," tandasnya.
Dirinya melihat, dalam perkara ini bisa jadi kurang saksi. Ia menegaskan, bahwa dalam perkara tersebut saksinya adalah antara pelaku dengan korban saja.
Dalam kasus ini, korban pun sudah meninggal dunia. Sehingga, hanya pelaku saja yang mengetahui secara persis apa yang terjadi.
"Jaksa sudah menunjukkan adanya CCTV. Memang di dalam perkara ini kurang saksi. Barangkali saksinya itu antara pelaku dan korban, di mana korban sudah meninggal dunia. Sehingga pertanyaannya, siapa pelakunya yang menyebabkan korban mengalami seperti diterangkan di visum," ungkapnya.
Meski visum tidak bisa menunjukkan siapa pelakunya, akan tetapi menurutnya rekaman CCTV dan kronologi perkara disebutnya tidak ada pelaku lain selain terdakwa.
"Dari visum tadi yang tidak bisa menunjuk siapa pelakunya, tapi dari CCTV kemudian kronologis perkara kan tidak ada pelaku lain selain si terdakwa. Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dengan si korban telah mengalami cekcok," pungkasnya.
Soal pertimbangan hakim yang menyebutkan kematian korban disebabkan oleh alkohol? Prof Basuki pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim.
"Majelis hakim mempunyai pendapat seperti itu dasarnya apa? Apakah memang ada ahli yang menerangkan untuk itu atau tidak. Atau paling tidak, ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa korban itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan matinya si korban. Ini ada atau tidak. Kalau ini tidak pernah terungkap di persidangan, kemudian majelis hakim menyatakan bahwa matinya korban bukan karena atas perbuatan terdakwa tapi karena minuman keras, menurut saya tidak berdasar," tambahnya.
Soal upaya jaksa yang melakukan upaya hukum kasasi dianggapnya sebagai langkah yang tepat. Ia bahkan memberikan saran, agar kejaksaan sebagai wakil dari korban, mendalilkan nahwa putusan bebas itu adalah putusan bebas yang tidak murni. Dengan salah satu alasannya adalah PN Surabaya memutus perkara ini ada kesalahan di dalam penerapan hukumnya.
"Nanti JPU harus mendalilkan bahwa putusan bebas di PN Surabaya itu adalah putusan bebas yang tidak murni. Harus diberikan statemen seperti itu. Karena kalau putusan murni tidak bisa diajukan kasasi. Putusan bebas yang tidak murni dengan memberikan beberapa alasan, salah satunya adalah PN Surabaya memutus perkara ini ada kesalahan di dalam penerapan hukumnya," tutupnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membebaskan Gregorius Ronald Tannur (31) dari dakwaan pembunuhan dan penganiayaan hingga menewaskan seorang perempuan Dini Sera Afriyanti (29).
Ronald yang merupakan anak dari anggota DPR RI partai PKB, Edward Tannur ini, dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan tewasnya korban.
"Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dalam dakwaan pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP Atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP," kata Majelis Hakkm, Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik.
Hakim juga menilai, Ronnald dianggap masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban disaat masa-masa kritis. Hal itu dibuktikan dengan terdakwa yang sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Dini Sera Afriyanti (29), sebelumnya diketahuj tewas usai dugem bersama kekasihnya Gregorius Ronald Tannur di salah satu tempat hiburan malam yang ada di Jalan Mayjen Jonosewejo, Lakarsantri, Surabaya pada Rabu (4/10) malam.
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh JPU dari Kejaksaan Negeri Surabaya, M Darwis, anak dari eks anggota DPR RI Fraksi PKB Edward Tannur itu dijerat dengan Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP Atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP.