Kejagung tegaskan pemerintah tidak terikat dengan IPT
Indonesia mempunyai kerangka hukum tersendiri untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Kejaksaan agung menegaskan, Indonesia tidak terikat dengan kesimpulan akhir dari Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT). Sebab, Indonesia mempunyai kerangka hukum tersendiri untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Kepala Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M Roem mengatakan, pemerintah Indonesia mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Dia menjelaskan cara tersebut yaitu terdapat di Undang-undang Pengadilan HAM dan UU 39 tahun 199 tentang HAM.
"Karena kita juga masih bertanya juga IPT itu apa jadi kita juga gak terkait dengan itulah. Gak tunduk dengan itu. Karena kita punya perangkat hukum sendiri," kata M Roem di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (21/7).
Dia memaparkan, hasil IPT tersebut tidak ada konsekuensinya sama sekali terhadap hukum di Indonesia. "Kita ya sudah jelas, ada UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Kita tidak mengikuti kerangka yang lain," ungkap dia.
M Roem menjelaskan jika ada desakan dari berbagai pihak untuk menjalankan hasil IPT tersebut, pemerintah dalam hal ini kejaksaan agung tentunya akan mempelajari rekomendasi dari IPT.
"Kalau tidak sesuai dengan kerangka hukum kita ya kita gak tau bagaimana?" ujar dia.
Diketahui sebelumnya, Majelis Hakim International People Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) 1965 menyatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas 10 kejahatan kemanusiaan berat pada kurun 1965-1966. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia turut terlibat membantu pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Putusan dibacakan Rabu (20/7) oleh Ketua Majelis Hakim Zak Yacoob melalui kanal streaming online. Keputusan majelis didasarkan atas proses pengadilan selama 10-13 November 2015 di Kota Den Haag, Belanda.
"Genosida di Indonesia harus dimasukkan dalam genosida-genosida utama di dunia pada abad ke 20," demikian pernyataan majelis hakim, seperti dikutip dari situs tribunal1965.org.
Data-data pelanggaran HAM berat selepas G30S didasarkan pada kesaksian korban selamat, saksi ahli, serta laporan mendalam yang dikumpulkan dari 40 peneliti asal Indonesia maupun luar negeri.
Salah satu fakta adanya pelanggaran HAM adalah terbunuhnya lebih dari 500 ribu orang di seluruh Indonesia atas tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia. Pemerintah dinyatakan bersalah memfasilitasi pembantaian tersebut, yang melibatkan organisasi paramiliter, ormas keagamaan, serta warga sipil.
Selain itu, pemerintah Indonesia menahan lebih dari 600 ribu orang di kamp konsentrasi Pulau Buru tanpa peradilan yang layak. Tuduhan ini mencakup pula penyiksaan tahanan diduga komunis, penghilangan paksa, serta kekerasan seksual yang dialami tahanan politik perempuan oleh aparat keamanan selama Gestok.
"Panel hakim merekomendasikan agar pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas dan keluarga mereka," kata majelis hakim.
Laporan sejenis sebetulnya sudah dihasilkan dari penyelidikan Komnas HAM serta Komnas Perempuan sebelum IPT digelar. Namun pemerintah tidak menindaklanjuti temuan-temuan lembaga negara tersebut.
Hal yang memberatkan pemerintah Indonesia adalah tidak adanya upaya untuk mencegah terjadinya pembantaian massal maupun menghukum mereka yang menjadi aktor intelektual genosida.
"Jika terjadi perbuatan pidana yang dilakukan terpisah dari pemerintah, atau tindakan yang biasa disebut aksi lokal spontan, bukan berarti negara dibebaskan dari tanggung jawab. Negara wajib menghalangi kembali berulangnya kejadian, dan menghukum mereka yang bertanggung jawab," kata Yacoob.