Kesehatan dan Ekonomi Ibarat Buah Simalakama di Saat Pandemi Corona
Lukman mengatakan, antara ekonomi dan kesehatan, masing-masing membawa konsekuensi yang tidak ringan. Sebab, kedua opsi ini berhubungan dengan nyawa manusia dengan segala konsekuensinya, yang pada titik ekstremnya sama-sama tidak mengenakkan.
Pemerintah tengah menyiapkan fase New Normal agar ekonomi kembali bergeliat pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, hal ini menuai banyak kritik, khususnya soal jaminan kesehatan bagi warga.
Ketua Dewan Pakar Indonesia Maju Institut (IMI), HM Lukman Edy mengibaratkan, kepentingan kesehatan dan ekonomi di tengah pandemi Corona seperti buah simalakama.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Siapa yang dilibatkan dalam penanganan pandemi Covid-19 dalam disertasi Kombes Pol Dr. Yade Setiawan Ujung? Analisis ini menawarkan wawasan berharga tentang pentingnya kerjasama antar-sektor dan koordinasi yang efektif antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam menghadapi krisis kesehatan.
-
Siapa yang dinyatakan positif Covid-19 pertama di Indonesia? Menurut pengumuman resmi dari Presiden Joko Widodo, kasus Covid-19 pertama di Indonesia terjadi pada dua warga Depok, Jawa Barat, yang merupakan seorang ibu berusia 64 tahun dan putrinya berusia 31 tahun.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
"Ini betul-betul seperti buah simalakama," kata Lukman kepada wartawan, Selasa (2/6).
Lukman mengatakan, antara ekonomi dan kesehatan, masing-masing membawa konsekuensi yang tidak ringan. Sebab, kedua opsi ini berhubungan dengan nyawa manusia dengan segala konsekuensinya, yang pada titik ekstremnya sama-sama tidak mengenakkan.
"Anda bisa bayangkan, memperpanjang WFH berpotensi mengakibatkan orang mati kelaparan. Memang ada gerakan sosial membantu tetangga atau bansos, tapi seberapa kuat bertahan lama? Sedangkan membuka kembali aktifitas ekonomi mengakibatkan korban pandemi bergelimpangan," tambah Lukman.
Sementara itu, lanjut dia, masing-masing instansi berpaku pada pilihan solusi masing-masing. Serta meyakini bahwa solusi yang dipilihlah yang paling baik.
Ibaratnya, masing-masing telah memiliki rezim dan jalan pikirannya sendiri. Bagi rezim kesehatan, kerja dari rumah adalah pilihan terbaik. Mereka mendesak pemerintah agar semakin ketat memberlakukan PSBB, karena ketidakpatuhan warga di beberapa daerah telah menyebabkan naiknya angka korban terpapar. Padahal, jumlah tim medis makin terbatas lantaran sebagian sudah meninggal dunia akibat pandemi ini juga.
Sementara bagi rezim ekonomi, telah merasakan bagaimana PSBB mengakibatkan banyak perusahaan merugi, PHK disana-sini, pertumbuhan ekonom mandek, apabila dibiarkan maka perekonomian nasional bisa tumbang.
"Inilah yang mengakibatkan seolah tampak bahwa pemerintah tidak konsisten membuat kebijakan," terang dia.
Padahal sesungguhnya karena masing-masing unit pemerintahan sedang bekerja keras berusaha mengatasi pandemi covid-19 ini.
"Karenanya New Normal hadir sebagai kebijakan jalan tengah yang menjembatani dua arus besar rezim ini," jelasnya.
Dengan adanya kebijakan New Normal ini, masing-masing pihak harus menyesuaikan, menetapkan basis dasar asumsi kebijakan dan target pencapaian yang baru. Masyarakat pun juga begitu.
Jangan lagi, kata dia, mengandaikan asumsi kondisi normal seperti sebelum Covid-19, dimana kantor-kantor ramai, tempat parkir penuh, mal-mal meriah, kampus-kampus melimpah mahasiswa, sekolah-sekolah dipadati siswa.
Begitu juga cafe dan resto penuh orang meeting dan sekadar nongkrong, masjid dan musala di kantor dan mall selalu antre untuk berjamaah.
"Semua pihak harus menyesuaikan diri dengan New Normal ini. tidak hanya instansi pemerintah, kantor-kantor, mal-mal, tapi semua lapisan masyarakat," tegasnya.
Di dalam protokol kesehatan yang telah diedarkan oleh pemerintah memang baru sebatas instansi, perkantoran, pusat perbelanjaan; itupun masih sebatas pengaturan sosial distancing. Pada pelaksanaannya nanti semua pihak dituntut untuk secara kreatif menyesuaikan diri dengan pola kehidupan baru.
Mungkin pada awalnya, menurut Lukman, belum terbiasa, masih butuh penyesuaian untuk pada akhirnya nanti menjadi budaya dan gaya hidup yang baru. Selama proses ini berlangsung dibutuhkan penegakan hukum yang tegas. Paling tidak selama 1 tahun ke depan sampai dengan masyarakat menjadi terbiasa.
"Kita butuh aparat yang tegas untuk mengingatkan, menegur bahkan memberi sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan," kata dia lagi.
(mdk/rnd)