Kisah Pak Harto tolak perintah Bung Karno tangkap atasan
Saat itu, Bung Karno memberi Soeharto sebutan sebagai 'Opsir Koppig' (opsir keras kepala).
Meski proklamasi kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Belanda tetap tak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Tak hanya tekanan, Belanda juga melakukan teror terhadap para pejuang di Jakarta.
Bahkan, teror dalam bentuk penembakan terhadap pejabat-pejabat tinggi Indonesia kala itu, seperti terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir, semakin meresahkan. Akhirnya, Presiden Soekarno pada 4 Januari 1946 memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta.
Pindahnya ibu kota negara ke Yogyakarta semakin menambah berat tugas Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen III dengan pangkat Letkol. Selain bertugas menjaga keamanan Yogyakarta, Pak Harto juga harus menjaga keselamatan negara dan pemerintahan.
Apalagi kondisi perpolitikan Tanah Air saat itu sedang bergolak. Saat itu, sikap politik Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang cenderung mengutamakan diplomasi dan perundingan dengan Belanda mendapat tentangan hebat dari kubu oposisi yang dipimpin Tan Malaka.
Bahkan, pergolakan politik saat itu sampai-sampai berakibat pada diculiknya Sjahrir pada 27 Juni 1946 di Solo. Presiden Soekarno saat itu langsung menyatakan negara dalam keadaan perang dan menyerukan agar Sjahrir segera dibebaskan.
Walau seruan Bung Karno itu dipenuhi oleh pihak penculik, keadaan tetap saja menegangkan. Letkol Soeharto yang saat itu memiliki jabatan strategis tentu saja menjadi rebutan mereka yang bertentangan.
"Dalam pada itu, saya berusaha bersikap tenang, teguh dengan pendirian bahwa saya tidak boleh terlibat dalam percaturan yang saling berlawanan," kata Soeharto dalam autobiografi Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya yang diterbitkan Cipta Lamtoro Gung Persada.
Saat itu, Pak Harto menolak perintah Bung Karno yang memerintahkannya untuk menangkap atasannya Panglima Divisi Mayjen Sudarsono. Pak Harto yang tengah berada di Markas Resimen Wijoyo tiba-tiba kedatangan seorang utusan Istana bernama Sundjojo yang membawa pesan dari Bung Karno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Panglima APRI.
Dari Sundjojo, Pak Harto mendapat penjelasan soal kondisi negara. Saat itu negara tengah terancam dalam perebutan kekuasaan dan Mayjen Sudarsono terlibat di dalamnya, karenanya Pak Harto diperintahkan Bung Karno untuk menangkapnya.
"Sungguh gila gagasan itu, pikir saya, di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti secara tertulis," kata Pak Harto.
Tak lama kemudian, seorang utusan dari Istana juga datang menemui Pak Harto dengan membawa surat perintah dari Bung Karno yang isinya sama dengan yang diuraikan oleh Sundjojo. Pak Harto dihadapkan pada posisi yang sulit. Dia mendapat perintah langsung oleh Bung Karno tanpa melewati hirarki kepemimpinan di tentara dan harus menangkap atasannya secara langsung.
"Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut, dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jenderal Soedirman," katanya.
Dengan penuh perasaan kesal, Sundjojo pun akhirnya kembali ke Istana dengan membawa kembali surat perintah dari Bung Karno. Selang satu jam kemudian, Sundjojo menelepon Pak Harto dan mengatakan telah melaporkan hal itu kepada Bung Karno. Sundjojo mengatakan, Bung Karno memberinya sebutan sebagai 'Opsir Koppig' (opsir keras kepala).
Pak Harto kemudian menemui Mayjen Sudarsono. Meski tak memberi info soal rencana penangkapan, Pak Harto saat itu mengimbau agar Mayjen Sudarsono segera pindah ke Resimen III Wiyoro bersamanya. Soeharto saat itu beralasan ada informasi soal rencana penculikan terhadap Sudarsono oleh kelompok pejuang.
Pendek cerita, Mayjen Sudarsono pun setuju dan segera berangkat. Mayjen Sudarsono kemudian mengaku akan menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman. Namun, Jenderal Sudirman justru menelepon Pak Harto dan memerintahkan agar Mayjen Sudarsono tetap berada di markas.
"Dari pembicaraan lewat telepon itu saya menarik kesimpulan bahwa Pak Dirman tidak terlibat dalam konflik politik itu," kata Pak Harto.
Saat tengah malam, Mayjen Sudarsono kembali ke Markas Resimen dengan membawa rombongan yang terdiri atas pimpinan politik yang dikeluarkan dari Rutan Wirogunan.
Kepada Soeharto, Mayjen Sudarsono mengaku telah memperoleh kuasa dari Jenderal Sudirman untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana, esok paginya. "Batin saya bicara 'Wah keterlaluan Panglima saya ini, dikira saya tidak mengetahui persoalannya.' Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia," kata Pak Harto.
Malam itu juga Pak Harto langsung memberi informasi ke Istana soal apa yang terjadi di Wiyoro dan apa yang akan terjadi esok hari di Istana. Sambil menjamin di luar Istana tak akan terjadi apa-apa, Pak Harto lantas mempersilakan pihak Istana untuk menangkap sendiri Mayjen Sudarsono setibanya di Istana.
Singkat cerita, Mayjen Sudarsono dan rombongannya ditangkap Pasukan Pengawal Presiden setibanya di Istana pada 3 Juli 1946, pagi. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan 'Peristiwa 3 Juli.'
Baca juga:
5 Prinsip hidup kunci sukses Soeharto
Probosutedjo: Pak Harto aktor Serangan Umum 1 Maret
5 Kesederhanaan Soeharto soal pakaian sampai pengawalan
Soeharto jawab isu punya selir bintang film
Cerita Presiden Soeharto, pengamen dan koruptor
Kisah Soeharto ditahan pasukan Siliwangi karena diduga PKI
5 Kisah menarik blusukan Soeharto
Keluarga minta pemerintah jadikan Pak Harto Pahlawan Nasional
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
-
Kenapa Soeharto selalu tersenyum? Presiden Indonesia Kedua Soeharto dikenal dengan sebutan ‘The Smiling General’ atau Sang Jenderal yang Tersenyum. Ini karena raut mukanya senantiasa tersenyum dan ramah.
-
Bagaimana Soeharto menghadapi serangan hoaks? Soeharto menganggap, pemberitaan hoaks yang menyerang dirinya dan keluarganya sebagai ujian. "Tapi tidak apa-apa, ini saya gunakan sebagai suatu ujian sampai di mana menghadapi semua isu-isu yang negatif tersebut. Sampai suatu isu tersebut sebetulnya sudah merupakan penfitnahan," ungkap Soeharto. Meski sering diserang hoaks, Presiden Soeharto memilih berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ditambah dengan senyum dan canda tawa.
-
Kapan Soeharto bertugas di Sulawesi Selatan? Soeharto dan keluarga BJ Habibie sudah saling kenal dan dekat sejak tahun 1950. Kala itu, Soeharto berdinas di Sulawesi Selatan dan kebetulan rumah BJ Habibie tepat di depan markasnya, Brigade Mataram.
-
Apa yang pernah dititipkan Soeharto kepada Sudjono Humardani? Ceritanya pada tahun 1967, Sudjono pernah diberi tugas oleh Soeharto untuk meminjam topeng Gadjah Mada yang disimpan di Pura Penopengan Belah Batu Bali.
-
Siapa yang diserang oleh hoaks selain Soeharto? Selain Presiden Soeharto, hoaks juga menimpa keluarganya.