Kisah Pratu Asmuji, orang Asia Tenggara pertama taklukan Everest
Pratu Asmujiono akhirnya tercatat sebagai pendaki ke-662 yang menapakkan kaki di Puncak Everest tahun 1997.
Pada tahun 1997 Indonesia mencatatkan diri sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang bisa menaklukkan puncak Everest di Pegunungan Himalaya. Hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri karena memang tidak mudah mendaki puncak tertinggi di dunia itu.
Dalam Ekspedisi Merah Putih 1997 itu, ada 16 orang yang terdiri dari 10 orang dari Kopassus dan 6 orang sipil yang mendapat tugas menaklukkan puncak 8.848 mdpl. namun dari 16 orang hanya dua orang yang berhasil menjajaki puncak Everest.
Pratu Asmujiono akhirnya tercatat sebagai pendaki ke-662 yang menapakkan kaki di Puncak Everest, disusul oleh Sertu Misirin di posisi 663. Bukan hal mudah menundukkan puncak dengan suhu minus 30 derajat tersebut. Butuh tekad, semangat dan fisik prima.
Lalu bagaimana kisah pendakian bersejarah tersebut? Berikut cerita Asmujiono ketika berhasil menaklukkan puncak tertinggi di dunia itu:
-
Apa yang terjadi pada pendaki di Gunung Lawu? Seorang mahasiswi asal Universitas Diponegoro (Undip), Anindita Syafa Nabila Rizky (20) ditemukan meninggal dunia di Pos 4 Gupakan Menjangan jalur pendakian Gunung Lawu lewat Cetho, Karanganyar, Jateng, pada Minggu (25/6) siang.
-
Siapa yang mengukur Gunung Everest? Misalnya, ketika perwira militer Inggris Sir Andrew Scott Waugh dan timnya mengukur Gunung Everest sebagai bagian dari Survei Trigonometri Besar, atmosfer bumi juga berpengaruh.
-
Apa yang berhasil dikibarkan oleh Asmujiono di puncak Gunung Everest? Asmujiono, warga Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, jadi salah satu warga Indonesia yang berhasil mengibarkan bendera merah putih di puncak Gunung Everest.
-
Kapan Gunung Patenggeng terbentuk? Menurut tim Geologi, Gunung Patenggeng merupakan gunung purba berusia jutaan tahun.
-
Apa yang menjadikan Gunung Everest sebagai gunung tertinggi di dunia? Dari jumlah tersebut, salah satunya menonjol karena tingginya dan diakui sebagai gunung terbesar dan tertinggi di dunia.
-
Apa yang terjadi di Gunung Tangkuban Perahu? Video tersebut dibagikan oleh beberapa akun Facebook di antaranya oleh akun Vicho Najwa, Hasanova Store, dan Yuni Sri Rahayu. Beredar sebuah video di media sosial Facebook yang mengandung narasi bahwa Gunung Tangkuban Perahu yang berada di Bandung, Jawa Barat, mengalami erupsi pada tanggal 11 Juni 2024 lalu.
Indonesia tak mau kalah dari Malaysia taklukan Everest
Negara di Asia Tenggara saat itu (tahun 1997), belum ada yang berhasil menaklukkan Everest. Bahkan saat keberangkatan Ekspedisi Merah Putih 1997 diduga karena rencana Malaysia yang saat itu akan memberangkatkan timnya. Negara yang bisa di Puncak Kaki Langit memiliki gengsi tersendiri.
Saat itu, ada 16 orang yang terdiri dari 10 orang dari Kopassus dan 6 orang sipil yang mendapat tugas menaklukkan puncak Everest. Misi mereka adalah menunjukkan kepada dunia, kalau Indonesia sejajar dengan nagara lain di dunia.
Namun di tengah perjalanan tidak semua dari 16 orang itu bisa melanjutkan pendakian. Pendaki yang melanjutkan perjalanan dalam Ekspedisi Merah Putih 1997 tinggal tiga orang yakni Lettu Iwan Setiawan, Sertu Misirin dan Pratu Asmujiono.
Pada 26 April 1997, ketiga pendaki meninggalkan Camp IV di South Col dengan ketinggian 7.980 M yang bersuhu minus 30 derajat celcius. Mereka mulai menyusuri menuju puncak Everest di 8.848 M.
Pratu Asmujiono akhirnya tercatat sebagai pendaki ke-662 yang menapaki kaki di Puncak Everest, disusul oleh Sertu Misirin di posisi 663. Sedangkan Lettu Iwan gagal dalam misi sulit itu.
Di ketinggian 7000 Mdpl, napsu makan hilang
Asmujiono mengisahkan saat dirinya berada di Puncak Himalaya. Saat memasuki ketinggian 7.000 mdpl ke atas, sudah tidak ada nafsu makan lagi. Semua yang terlihat hanya hamparan es.
"Makan sudah tidak enak, tapi tubuh butuh energi untuk kita bisa berjalan. Saat membawa daging, dagingnya tidak bisa dipotong, telur menjadi keras. Air mendidih langsung minum, buang air kecil langsung berubah menjadi es," kata Asmujiono saat menjadi narasumber dalam talkshow Ekspedisi Mount Everest Indonesia 1997, Merah Putih di Atap Tertinggi Dunia.
Acara yang berlangsung di Aula Gedung A Lantai A Lantai 4 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, dihadiri oleh sekitar 300 peserta, Minggu (24/5) kemarin.
Karena keinginan kuat dan cita-cita demi mengibarkan Merah Putih di Puncak Everest, ketiganya (Lettu Iwan Setiawan, Sertu Misirin dan Pratu Asmujiono) rela bertaruh nyawa. Lereng gunung berselimut es sebatas paha disusuri, bahkan dengan kemiringan 80 derajat.
Tekad kuat pantang pulang tanpa prestasi akhirnya mengantarkan mimpi mereka terwujud. Asmujiono berhasil membawa misi pada 26 April 1997 pukul 15.30 waktu setempat. Dia tercatat sebagai pendaki ke-662 yang menapaki kaki di Puncak Everest, disusul oleh Misirin di posisi 663. Tetapi bagi orang Asia Tenggara, keduanya menjadi orang pertama dan kedua. Semua bisa menjadi kenyataan karena mimpi dan cita-cita.
Pelatih Rusia pun enggan berbagi air di puncak Everest
Perjalanan menuju Puncak Everest yang dilakukan oleh Asmujiono bersama 15 orang yang lain pada 1997, terbilang sangat jauh dari kata teknologi canggih. Bahkan misi besar itu dilakukan dengan penuh keterbatasan, meski demikian hal itu tidak mengurangi semangat anggota tim.
Saat itu, ada 16 orang yang terdiri dari 10 orang dari Kopassus dan 6 orang sipil yang mendapat tugas menaklukkan puncak Everest. Misi mereka adalah menunjukkan kepada dunia, kalau Indonesia sejajar dengan nagara lain di dunia.
Negara di Asia Tenggara, saat itu belum ada yang berhasil, bahkan keberangkatan Ekspedisi Merah Putih 1997 diduga karena rencana Malaysia yang saat itu akan memberangkatkan timnya. Negara yang bisa di Puncak Kaki Langit memiliki gengsi tersendiri.
"Saat itu ada seingat saya ada pameran di Rusia, dibelikan termos dengan bahan tertentu yang katanya canggih. Tetapi saat termos itu dipakai, tetap saja air di dalamnya beku menjadi es. Termosnya diisi air panas, airnya tidak bisa keluar karena beku." kata Asmujiono.
Asmujiono mengisahkan, saat menuju puncak tiga pelatih yakni Anatoli Beukreev, Vladimir Baskirov dan Evgenie Vinogradsky mendampingi perjalanannya. Satu pelatih mendampingi satu orang.
Pelatih asal Rusia yang mendampingi kita memiliki botol yang ditaruh di tubuhnya. Ditaruh di sekitar ketiaknya, tetapi setiap saya minta airnya tidak pernah dikasih. Saya lihat dia meneteskan air ke mulutnya," kata Asmujiono.
"Entah dia nggak ngerti bahasa saya atau apa, setiap saya minta tidak pernah dikasih," tambahnya.
Tiga hari tiga malam tidak makan
Sejak memasuki ketinggian 7.000 meter, Asmuji mengaku sudah tidak ada nafsu makan lagi. Tetapi tubuhnya butuh energi untuk sumber tenaga.
Suhu di bawah minus 30 derajat, saat membawa daging sudah tidak bisa dipotong, bahkan telur menjadi keras. Air mendidih bisa langsung diminum, bahkan buang air kecil langsung berubah menjadi es.
"Saya tiga hari tiga malam sudah tidak bisa makan. Kita semula sudah dipersiapkan emergency camp. Indonesia hanya dianggap akan mampu di Camp 3 di ketinggian 7.300 meter saja," katanya.
Perlu diketahui Camp I berada di 6.100 M, Camp II di 6.500 M, Camp III di 7.300 M dan Camp IV di 7.980 M. Saat ekspedisi pertama hanya tiga orang yang diperkenankan melanjutkan ke Puncak Everest di 8.850 M. Sementara yang mencapai puncak Everest hanya dua orang yakni Asmujiono dan Misirin.
Pulang dari puncak Everest, Asmujiono sempat dianggap gila
Pulang dari ekspedisi ke puncak Everest 1997, Asmujiono mengalami sakit yang secara medis tidak diketahui. Sebagian sarafnya mati, saat ditanya wartawan tentang keberhasilannya, dia kesulitan untuk memberikan jawaban dan respon.
Pengakuan itu disampaikan oleh Asmujiono saat menjadi nara sumber
Talkshow Ekspedisi Mount Everest Indonesia 1997, Merah Putih di Atap Tertinggi Dunia di Aula Gedung A Lantai A Lantai 4 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, Minggu (24/5).
"Bahkan banyak orang yang mengabarkan kalau saya sudah sakit jiwa dan harus menjalani karantina. Saya sakit sekitar 2 tahun, disangka gila, karena itu saya disembunyikan," kata Asmujiono.
Asmujiono berhasil mengibarkan Merah Putih di Puncak Everest pada 26 April 1997 pukul 15.30 waktu setempat. Dia tercatat sebagai pendaki ke-662 yang menapaki kaki di Puncak Everest, disusul oleh Misirin di posisi 663. Tetapi bagi orang Asia Tenggara, keduanya menjadi orang pertama dan kedua. Misi itu ditempuh selama enam bulan mulai Desember 1996 hingga Mei 1997.
Perubahan yang drastis dari suhu ekstrem kemudian kembali ke suhu tropis diduga menjadi penyebab sakitnya. Selama dua tahun, Asmujiono harus menjalani pengobatan, di antaranya di Sumur Tujuh Banten.
"Seharusnya tidak langsung dibawa ke Indonesia, minimal satu tahun di Nepal menjalani penyesuaian. Harusnya disuruh jalan-jalan dulu seperti para bule-bule di sana," katanya.
Asmujiono begitu selesai dengan misinya langsung dijemput oleh pesawat khusus. Saat itu menjadi ikon kebanggaan karena sudah mencatat rekor.
"Saya ditanya wartawan diam saja, saraf belum bisa menerima. Ibarat besi panas langsung dimasukkan ke dalam es, langsung bengkok," katanya.
Sempat tergiang dalam ingatan Asmujiono, kalau kelak pulang dari menjalankan misi akan bercerita kepada teman-teman sambil bisa berbangga.
"Saya yang pelakunya saat itu tidak punya kesempatan, ke mana-mana saya tidak diajak. Bahkan tidak sedikit yang meragukan. Benarkah saya sampai ke puncak Everest," katanya.