Lengkap, Ini Poin-Poin Krusial Rekomendasi Pansus Haji DPR
Pansus Haji menilai dalam pembagian kuota haji tambahan Tahun 1445 H/2024 M, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Haji di DPR, Nusron Wahid memberikan kesimpulan serta rekomendasi dalam sidang paripurna yang digelar hari ini di DPR, Senin (30/9). Nusron membeberkan sejumlah poin terkait kerja Pansus Haji.
"Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator. Sementara dalam penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan Government to Government, akan tetapi berubah menjadi
- Pansus DPR Dapat Laporan Jemaah Haji Khusus Bayar Rp1,1 M: Di Mana Peran Kemenag?
- Pansus Temukan 3.503 Haji Khusus Tanpa Masa Tunggu Diberangkatkan 2024
- Ditanya Pansus, Direktur Haji Khusus Mengaku Tak Tahu Pengusul Pembagian Kuota Tambahan
- DPR Segera Bentuk Pansus Haji: Banyak Kendala Prosesi Haji di Arafah, Muzdaliah dan Mina
Government to Bussines, sehingga pelayanannya diberikan kepada pihak syarikah menggunakan kerangka bisnis," kata Nusron.
Pansus Haji menilai dalam pembagian kuota haji tambahan Tahun 1445 H/2024 M, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tentang alokasi kuota ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia.
Kementerian Agama cq Dirjen PHU dianggap melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada tanggal 10 Januari 2024 sebelum diterbitkannya KMA nomor 130 Tahun 2024 pada tanggal 15 Januari 2024, yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.
Sementara itu soal distribusi kuota haji, Pansus Haji menyampaikan empat poin.
Pertama, pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan pendamping, penggabungan dan pelimpahan porsi masih ada celah atau kelemahan di mana pendamping diisi oleh jemaah haji reguler yang bukan mahromnya.
Kedua, sampai tahun 2024, Kementerian Agama masih belum mengupayakan secara maksimal untuk menyelesaikan masalah 5,678 nomor porsi kuota 'batu' yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti di mana jemaah haji berada/bertempat tinggal.
Ketiga, terdapat ketidaksinkronan antara keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah, dan Surat Edaran Direktur Bina Haji Khusus dan B-116038/DJ/Dt.II.IV.2/HJ.00/2/2024 tentang Penyampaian Daftar Nama Jemaah Haji Khusus Berhak Lunas Pengisian Sisa Kuota Tahun 1445H/2024M dengan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pasal 65 ayat (2).
"Keempat, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI sebagai aparatur pengawas internal tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 sebagai obyek pengawasan, sementara pembagian tambahan kuota haji tahun 1445 H/2024 M ada potensi tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah," lanjut Nusron.
Sedangkan perihal Siskohat dan Siskopatuh, Pansus menjelaskan bahwa:
1. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Pendaftaran Haji Reguler, Subdit Haji Khusus, Subdit Dokumentasi, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sehingga rawan diintervensi dan membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat berangkat haji.
2. Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Perizinan, akreditasi dan Bina Haji Khusus, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan umrah, dan PIHK sehingga rawan diintervensi dan membuka peluang orang berangkat haji tanpa antrian.
3. Lemahnya pengawasan terhadap verifikator yang ditandai dengan adanya jemaah haji yang tidak sesuai dengan Siskohat serta celah perubahan data.
Sedangkan untuk pendaftaran, Pansus Haji menilai dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, prosedur pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan.
Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antre (mendaftar tahun 2024 dan berangkat tahun 2024).
Selanjutnya Ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah.
Ketentuan ini membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan dan/atau tahun keberangkatan.
Untuk nilai manfaat, Pansus Haji menemukan adanya ketidakadilan, di mana mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada pada daftar antrean.
Ketujuh, terkait jemaah cadangan lunas tunda, Pansus Haji mengemukakan bahwa sampai tahun 2024 jemaah cadangan lunas tunda sebesar 30 persen dari kuota haji nasional. Seharusnya mereka yang diprioritaskan untuk diberangkatkan terlebih dahulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya. Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi jemaah lunas tertunda keberangkatannya.
"Kedelapan, Pelaporan dan Pengawasan. Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada Menteri. Ketentuan ini tidak dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi PIHK yang tidak dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan Haji," ucap Nusron.
Sedangkan untuk pelayanan, Pansus Haji menilai pelayanan di Armuzna dan selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.
Pansus kemudian memberikan lima rekomendasi terkait pelaksanaan Haji sebagai berikut:
1. Dibutuhkan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dengan mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi.
2. Diperlukan sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota Haji, terutama dalam ibadah haji khusus, termasuk pengalokasian kuota tambahan. Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan dinformasikan secara terbuka kepada publik.
3. Dalam pelaksanaan ibadah haji khusus, Pansus merekomendasikan hendaknya dalam pelaksanaan mendatang peran negara dalam fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus harus lebih diperkuat dan dioptimalkan.
4. Panitia Angket mendorong penguatan peran lembaga pengawas internal pemerintah (seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan BPKP) agar lebih detail dan kuat dalam mengawasi penyelenggaraan Haji. Manakala membutuhkan tindak lanjut, dapat melibatkan pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK).
5. Pansus mengharapkan Pemerintahan mendatang agar dalam mengisi posisi Menteri Agama RI dengan figur yang dianggap lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola penyelenggaraan ibadah haji.