Memitigasi Bencana Berkaca dari Gempa Cianjur
Perlu penataan ruang berbasis risiko bencana, literasi bencana, dan riset bencana.
Gempa bumi dengan magnitudo 5,6 di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11) meluluhlantakkan rumah, sekolah, pesantren, hingga rumah sakit. Lebih dari 300 orang meninggal dunia, ribuan orang luka-luka akibat bencana tersebut.
Diprediksi, gempa ini bukan yang terakhir dan bukan terkuat di Cianjur. Gempa dengan magnitudo lebih besar kemungkinan masih bisa mengguncang Cianjur.
-
Bakat apa yang dimiliki Gempi? Gempita Nora Marten saat ini telah menginjak usia 9 tahun. Bagi mereka yang telah mengikuti perjalanan hidupnya sejak bayi hingga sekarang, tentu tidak percaya melihatnya tumbuh sebesar ini. Walaupun usianya masih muda, Gempi menunjukkan bakat yang luar biasa.
-
Di mana gempa Bantul berpusat? Gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Bantul menjadi sebuah alarm pengingat tentang keberadaan zona subduksi yang masih aktif di wilayah selatan Pulau Jawa.
-
Bagaimana Bunga Jeumpa diperbanyak? Perbanyakan Bunga Jeumpa ini dapat dilakukan dengan melalui biji yang tumbuh kurang lebih 3 bulan sesudah biji disebar.
-
Kapan Gempi menunjukkan bakat berenang? Hal ini dapat dilihat dari unggahan Gisel beberapa waktu yang lalu. Di dalam gambar-gambar itu, Gempi sedang menjalani pelajaran berenang.
-
Di mana gempa terjadi? Mengutip informsi BMKG, pusat gempa berada di 8.52 LS,115.35 BT atau 2 km timur laut Gianyar, Bali dengan kedalaman 10 km.
-
Kapan gempa di Gianyar terjadi? Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali mencatat kerusakan ringan dampak gempa berkekuatan 4.9 magnitudo di Kabupaten Gianyar. Getaran gempa sempat membuat penghuni hotel berhamburan meninggalkan gedung."Kerusakan ringan, tembok retak dan genteng jatuh," kata Kepala BPBD Made Rentin dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (7/9).
Pakar Gempa Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano menjelaskan ada tiga cara untuk memitigasi risiko gempa bumi jika berkaca pada bencana Cianjur.
Pertama, melakukan penataan ruang berbasis risiko bencana. Irwan menilai, pemerintah perlu memperhatikan kawasan rawan gempa merujuk peta gempa nasional.
Jika kawasan tersebut berada dalam titik rawan gempa, maka harus dibebaskan dari pembangunan hunian atau perkantoran. Lokasi itu sebaiknya dijadikan lahan pertanian atau kawasan hijau.
"Menurut saya bisa dimulai dari peta gempa nasional. Kemudian dibuat buffer area yang tidak boleh dibangun," ujarnya saat dihubungi merdeka.com, Kamis (24/11).
Literasi dan Riset Bencana
Kedua, memasifkan literasi bencana. Irwan berpendapat, sosialisasi literasi bencana harus melibatkan banyak stakeholder. Misalnya pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan masyarakat.
Literasi bencana, kata Irwan, bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Dengan begitu, seluruh jenjang pendidikan dapat mempelajari cara menghadapi bencana.
Irwan meyakini, literasi bencana bisa mengurangi risiko bencana. Dia mengambil contoh, masyarakat yang memahami literasi bencana akan membangun hunian tahan gempa. Sehingga ketika gempa terjadi, hunian tidak ambruk. Korban jiwa pun bisa dicegah.
Dia juga mendorong pemerintah mendukung masyarakat membangun hunian tahan gempa. Dukungan tersebut bisa diberikan lewat kebijakan khusus. Contohnya, pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat yang membangun rumah tahan gempa.
"Idenya bisa regulasi dalam bentuk punishment. Kalau tidak membangun (hunian tanah gempa), Anda mendapat punishment. Tapi bisa juga dalam bentuk insentif, kalau Anda membangun, Anda mendapat insentif. Misalnya insentif dalam bentuk pajak, kalau Anda membangun dengan baik PBBnya direduksi," jelasnya.
Cara ketiga memitigasi risiko gempa bumi ialah memperkuat riset sumber bencana. Irwan mengakui, riset sumber bencana yang dilakukan di Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain karena keterbatasan tertentu.
Pemetaan Sesar Aktif
Sementara Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Anggri Setiawan mengatakan, yang perlu dilakukan saat ini adalah memetakan sesar aktif.
"Jika sudah teridentifikasi, masing-masing sesar perlu diestimasi rata-rata kecepatan pergerakannya. Dengan data inilah, kita bisa tahu mana sesar yang masih aktif dan tidak serta mana yang paling berpotensi untuk gempa di masa depan," jelasnya.
Anggri menjelaskan usaha untuk memprediksi gempa sudah dilakukan para peneliti di Indonesia. Upaya paling intens adalah potensi gempa di Sesar Lembang dan Sesar Sumatra.
"Hal ini bisa dilakukan dengan menghitung seberapa cepat pergerakan bidang patahan atau sesar dengan acuan bahwa gempa merupakan siklus karena jika pernah terjadi saat ini, pasti pernah terjadi di masa lalu dan akan terjadi di masa depan," katanya.
Meski begitu, metode ini menurutnya tidak sepenuhnya akurat karena memang aktivitas alam sangat dinamis. Namun dengan tersedianya data dasar maka dapat dijadikan acuan terbaik untuk skenario mitigasi di masa depan.
Menurut Anggri, selain memetakan sesar aktif, kesadaran masyarakat terhadap kondisi dan letak huniannya sangat penting. Terutama ketika terjadi gempa susulan.
Anggri menyebut, untuk warga yang tinggal di daerah pegunungan dengan lereng curam, ada kemungkinan jika gempa susulan dapat memicu tanah di sekitarnya semakin tidak stabil. Apalagi jika ditambah hujan lebat menimbulkan risiko terjadinya longsor.
"Saya kira perlu dilakukan evakuasi warga untuk daerah-daerah yang berdekatan dengan tebing tinggi," pungkasnya.
Pemicu Cianjur Rusak Parah
Peneliti Geoteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adrin Tohari menilai, kerusakan besar usai gempa Cianjur dipicu dua hal. Pertama, kondisi geologi di Cianjur.
Dia menyebut, Cianjur merupakan daerah endapan gunung api muda. Kondisi ini membuat efek guncangan gempa bumi terasa lebih kuat atau besar.
Kedua, bangunan yang berada di Cianjur tidak tahan gempa. Sehingga saat guncangan kuat akibat gempa terjadi, rumah menjadi mudah rusak dan ambruk.
"Itu yang menyebabkan banyak korban jiwa, karena terkena reruntuhan bangunan," kata Adrin kepada merdeka.com, Selasa (22/11).
Adrin menegaskan, pada dasarnya gempa bumi dengan magnitudo sebesar apapun tidak mematikan. Korban jiwa yang ditimbulkan umumnya dipicu bangunan yang ambruk.
Dia mengambil contoh Jepang. Di negara yang dijuluki Negeri Matahari Terbit itu, gempa bumi merupakan hal biasa. Jumlah korban jiwa akibat gempa bumi bisa ditekan sekecil mungkin melalui bangunan tahan gempa.
"Di Jepang itu, kalau ada gempa M7, bangunan-bangunan bertingkat mereka tetap aman, tidak ada yang rubuh," jelasnya.
Sementara Pakar Gempa dan Tsunami GNS Science, Aditya Gusman berpendapat, kerusakan dahsyat di Cianjur dipicu episenter gempa dekat dengan permukiman penduduk. Selain itu, karakteristik gempa yang mengguncang Cianjur dangkal.
"Kalau gempa dangkal, dekat dengan pemukiman, ini merusak," ujarnya.
Mengenai mayoritas bangunan di Cianjur ambruk usai gempa, Aditya menilai perlu investigasi mendalam. Apakah bangunan tersebut tahan gempa atau sebaliknya.
Aditya mengakui bangunan tidak tahan gempa menyebabkan banyak orang meninggal dunia. Bila rumah warga tahan gempa, saat gempa dahsyat terjadi, rumah tidak akan ambruk. Paling parah hanya mengalami retak.
"Jadi kalaupun rusak tidak menyebabkan kematian," ucapnya.
(mdk/tin)