Pemberontakan tahun 1740 di Batavia & jejak Etnis China di Semarang
Di bawah pimpinan Sing She, warga Tionghoa sempat mengepung Belanda di Kabupaten Semarang pada tahun 1741.
Peristiwa pemberontakan Batavia pada 1740 menjadi tonggak sejarah etnis Tionghoa hijrah ke Kota Semarang. Melalui perjalanan darat, mereka selalu melakukan perlawanan dengan Belanda dari Utara ke arah Timur. Perlawanan itu di bawah pimpinan Kapitan Nie Hoe Kong atau lebih dikenal sebagai Captain Souw Panjang, seorang pendekar silat. Setibanya di Semarang dia lebih terkenal dengan nama Sing She.
Souw Panjang kemudian menghimpun beberapa rekan sejawat sesama etnis Tionghoa yang juga pesilat-pesilat lainnya yang ada di Semarang untuk melawan Belanda. Pesilat-pesilat ini bersama para orang-orang pribumi biasa berlatih di Sobokarti, Gedung tempat kesenian dan latihan silat yang kini masih bertahan dan berada di Jalan Dr Tjipto, Kota Semarang.
-
Apa yang ditemukan di Kota Lama Semarang? Dari ekskavasi itu, tim peneliti tidak hanya menemukan struktur bata yang diduga merupakan bagian dari benteng Kota Lama. Namun juga ditemukan artefak berupa fragmen keramik, botol, kaca, tembikar, serta ekofak berupa gigi, tulang, tanduk hewan, dan fragmen Batubara yang jumlahnya mencapai 9.191 fragmen.
-
Apa itu Imlek? Imlek juga dikenal sebagai Tahun Baru Imlek atau Tahun Baru Cina. Imlek adalah perayaan tahun baru tradisional yang dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di berbagai belahan dunia.
-
Apa yang terjadi pada bocah 8 tahun di Semarang? Seorang bocah berusia 8 tahun di Semarang diduga dibakar teman sepermainannya. Dia mengalami luka bakar cukup parah di punggung hingga kaki. Kini korban hanya bisa merintih kesakitan sembari terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
-
Kapan Imlek dirayakan? Perayaan Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, sesuai dengan penanggalan lunar, dan dirayakan selama 15 hari, dimulai dari tahun baru dan berakhir dengan festival lentera.
-
Kapan wabah kelaparan terjadi di Semarang? Pada tahun 1901, muncul wabah kelaparan di Semarang dan Demak.
-
Bagaimana Imlek dirayakan di Sumut? Sejarah perayaan Imlek di Indonesia telah ada sejak abad ke-15 ketika pedagang Tionghoa datang ke Nusantara. Perayaan ini telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, dengan tradisi seperti memasang lampion, menyiapkan makanan khas Imlek, dan memberikan angpao.
Di bawah pimpinan Sing She, etnis Tionghoa sempat mengepung Belanda di Kabupaten Semarang pada tahun 1741. Belanda akhirnya meminta bantuan dari Batavia. Kemudian Belanda mengirimkan pula pasukannya yang berada di luar Jawa dan akhirnya, pada tahun 1743 pemberontakan kaum etnis Tionghoa bersama pribumi dapat ditumpas oleh Belanda.
Saat itu banyak kaum etnis Tionghoa melarikan diri ke Surakarta atau Solo. Di sana para kaum etnis Tionghoa dan pribumi di bawah kepemimpinan Raden Pangeran Trunojoyo masa Raja Amangkurat I atau Mataram Kuno saat itu berperang melawan Belanda. Saat itulah, Belanda memulai politik 'Devide At Empera' dan hingga akhirnya Raja Amangkurat II berpihak pada Belanda. Sehingga kerajaan Mataram saat itu pecah kepemimpinannya.
"Tentara pribumi, Bupati koncoan (berteman dan berkoloni) melawan Amangkurat II, masuk Kartasura, Mataram pecah jadi dua. Amangkurat II minta tolong Batavia, ditumpas Semarang diserahkan kekuasaannya ke Belanda. Sama orang kerajaan Solo," ujar Sejarawan Kota Semarang Jongkie Tio kepada merdeka.com saat ditemui di rumahnya di Rumah Makan Semarang Jalan Gadjahmada, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/2) malam.
Akibat peristiwa itu, penguasa Belanda mendesak orang-orang etnis Tionghoa untuk pindah dari Kawasan Simongan ke sekitar daerah Kali Semarang. Tujuanya supaya gerak-gerik mereka mudah diawasi. Di sinilah awal muncul Kawasan Pecinan Kota Semarang. Kawasan itu terdiri dari wilayah sekitar; Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, Kalikoping.
Untuk mengamankan etnis Tionghoa, penjajah Belanda mendirikan tangsi militer di Jalan Jurnatan yang kini sudah menjadi kawasan perdagangan mesin. Dulu, kawasan itu dihuni oleh tentara yang direkrut oleh Belanda dan sekutunya dari berbagai negara dan diberi nama Kawasan 'De Werttenbergse Kazerre'. Gedung itu kini sudah dibongkar dan dijadikan Gedung Pertokoan Semarang Plaza yang kini dikenal dan diberi nama oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dengan nama Jalan KH Agus Salim, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Tionghoa didesak pasukan Belanda. Dipaksa pindah. Dibatesi Kali Semarang yang kini diberinama Jalan Inspeksi. Tempate kecil orang Tionghoa kemudian berupaya untuk mencari celah dengan cara membangun lorong-lorong kecil. Untuk suplay bahan makanan mereka mencari akal dengan membangun pasar pembauran etnis Tionghoa dan etnis Jawa di Semarang. Dari cikal bakal pasar Johar muncullah Pasar Damaran. Nek pagi pedagang Damaran masuk pecinan di Pasar Gang Baru yang sampai sekarang menjadi pasar pembauran etnis Jawa dan China pertama di Kota Semarang," terang pengarang buku berjudul ‘Kota Semarang Dalam Kenangan’ ini.
Proses pembauran berlanjut, muncullah kegiatan pendidikan belajar mengajar sendiri yang diprakarsai etnis Tionghoa dan Jawa. Salah satunya sekolah 'Kuncup Melati' yang dulu bernama Hong Kow Wie. Mereka mayoritas bermuridkan anak-anak kurang mampu.
"Malah sekarang yang sekolah gratis banyak orang-orang Jawa bukan dari China saja. Kemudian juga muncul perkumpulan lintas social etnis bernama Kasa Dharma. Juga organisasi Bun Yang Thong yang di Ketua Hariyanto Halim yang merupakan pengusaha China. Lama-lama menjadi perkumpulan sosial jadi multi Etnik. Chie Lam Ceng,. Akhirnya kini, kawasan pecinan itu menjadi pusat perekonomian di Kota Semarang," jelasnya.
Di Kawasan yang ditinggalkan oleh orang Tionghoa didirikan loji-loji untuk para pedagang dari India dan Prancis di Daerah Petolongan dan Bustaman. Pascakemelut usai, kawasan di Kota Semarang ini maju pesat dan ramai perdagangan antar negara. Sebagai Kota Pelabuhan, awal pelabuhan muncul di Kawasan bernama Boomlama.
Ramainya kawasan itu akan para pedagang dan kapal yang mendarat maka kawasan itu berubah menjadi Kampung Ndarat. Sampai akhirnya kawasan itu disebut sebagai Kampung Melayu yang memiliki keterampilan membuat kapal. Sebagian lagi kampung itu dipenuhi penghuni dan penduduknya yang dikenal dengan komunitas orang-orang Arab di sekitar Jalan Peteh dan Jalan Mujahir.
"Pesatnya kemajuan perdagangan di Kawasan Pecinan Kota Semarang ini, memunculkan kebiasaan orang-orang China untuk berbisnis perjudian. Kegiatan perjudian ini terkonsentrasi di Gang Pinggir. Muncul pula tempat gadai jika para penjudi kalah menggadaikan barang-barangnya untuk berjudi di Gang Cilik. Lalu pemerintah Belanda saat itu menarik pajak dari perjudian tersebut. Saat itu orang menggunakan mata uang Keping. Uang ini berupa logam yang di tengahnya ada lubang persegi dikenal dengan uang Gobok. Jika membawa uang ini disunduk atau direnteng kemudian diikat di punggung dan uang itu biasa disebut Tangtji," pungkasnya.
(mdk/hhw)