Respons Istana soal Demo Buruh Tolak Iuran Tapera
Pratikno belum bisa memastikan apakah perwakilan kelompok buruh akan diterima atau tidak.
Pratikno belum bisa memastikan apakah perwakilan kelompok buruh akan diterima atau tidak.
Respons Istana soal Demo Buruh Tolak Iuran Tapera
Menteri Sekrertaris Negara (Mensesneg) Pratikno menanggapi soal aksi unjuk rasa yang akan dilakukan berbagai kelompok buruh di depan Istana Negara, Jakarta Kamis (6/6).
Aksi ini digelar untuk menolak program iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang memotong gaji karyawan.
Dia mengaku belum mengetahui soal adanya aksi unjuk rasa penolakan iuran Tapera di depan Istana Negara Jakarta. Pratikno pun belum bisa memastikan apakah perwakilan kelompok buruh akan diterima atau tidak oleh kementerian/lembaga untuk mendengar aspirasi.
"Nanti saya saya cek ya ke kementerian/lembaga terkait. Jangan sampai kita enggak tahu kan, yang tahu kan kementerian terkait," kata Pratikno di Kantor Kementerian Sekretariat Negara Jakarta, Kamis (6/6).
Pratikno menyebut program Tapera berada di bawah Kementerian PUPR dan Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga, pembicaraan soal Tapera seharusnya dibahas oleh kementerian-kementerian terkait.
"Itu kementeriannya siapa ya? Kementerian PUPR ya? Ya kan ketenagakerjaan ya. Pembicaraan lintas kementerian dan lembaga lah nanti," jelas Pratikno.
Sementara itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono enggan berkomentar soal aksi demo penolakan Tapera. Menurut dia, aksi unjuk rasa sudah biasa dilakukan.
"Kan demo dimana-mana demo. Saya enggak (mau) jawab," ucap Basuki.
Sebelumnya, Berbagai kelompok buruh asal Jabodetabek akan melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta pada Kamis (6/6).
Aksi ini digelar untuk menentang berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari pengenaan iuran Tapera hingga sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam layanan BPJS Kesehatan.
"Ribuan buruh yang akan melakukan aksi ini berasal dari Jabodetabek dan berbagai organisasi serikat pekerja seperti KSPI, KSPSI, KPBI, dan juga Serikat Petani Indonesia (SPI) serta organisasi perempuan PERCAYA," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Selasa (4/6).
"Aksi dimulai pukul 10.00 dengan titik kumpul di depan Balaikota dan bergerak ke Istana melalui kawasan Patung Kuda," lanjutnya.
Menurut Said Iqbal, kebijakan Tapera merugikan dan membebani pekerja dengan iuran. "Mana meski setelah mencicil selama 10 hingga 20 tahun, buruh tetap saja tidak memberikan kepastian bisa memiliki rumah," tegasnya.
Selain itu, dalam Tapera, Jokowi dan pembantunya dinilai lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah. Hal ini karena Pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran, tidak mengalokasikan dana dari APBN maupun APBD.
"Permasalahan lain adalah dana Tapera rawan dikorupsi, serta ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana," imbuh dia.
Tolak UKT Mahal
Selain aksi menolak PP Tapera, isu lain yang diangkat dalam aksi ini adalah Tolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahal, Tolak KRIS BPJS Kesehatan, Tolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja, dan Hapus OutSourching Tolak Upah Murah (HOSTUM).
Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kini menjadi beban yang menghimpit akibat Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal. Akibatnya, bagi anak-anak buruh, mimpi untuk meraih pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dengan biaya yang terus melambung.
Terkait Kamar Rawat Inap Standar (KRIS), buruh berpendapat kebijakan ini justru menurunkan kualitas layanan kesehatan dan akan semakin memperburuk pelayanan di rumah sakit yang sudah penuh sesak. Buruh menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memastikan pelayanan kesehatan yang adil dan layak bagi seluruh rakyat.
Penolakan terhadap Omnibuslaw UU Cipta Kerja juga disuarakan. Beleid yang diklaim akan mendorong investasi ini, bagi para buruh, adalah simbol ketidakadilan yang melegalkan eksploitasi. Fleksibilitas kerja melalui kontrak dan outsourcing yang semakin bebas, hanya memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk memperlakukan buruh sebagai alat produksi semata, bukan sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat.
Said Iqbal menilai, UU Cipta Kerja juga menyebabkan upah murah, pesangon rendah, mudahnya PHK, jam kerja yang fleksibel, hingga hilangnya beberapa saksi pidana.
"Tidak ketinggalan, dalam aksi 6 Juni, buruh juga menuntut Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM). Sistem outsourcing yang tidak memberikan kepastian kerja dan upah yang jauh dari layak, telah menempatkan buruh dalam kondisi yang semakin sulit. Hidup mereka.