Uniknya Musala Berbahan Limbah Kayu Ulin di Seruyan Jadi Perhatian Warga
Sebuah musala bernama As Salam yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman KM 71 Desa Terawan, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, menjadi perhatian masyarakat karena desainnya unik dan menarik, serta berbahan limbah kayu ulin.
Sebuah musala bernama As Salam yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman KM 71 Desa Terawan, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, menjadi perhatian masyarakat karena desainnya unik dan menarik, serta berbahan limbah kayu ulin.
"Tadi ketika fotonya saya pasang di media sosial, banyak yang mengira ini di Jawa atau Bali. Mungkin karena melihat desainnya mirip bangunan-bangunan lama yang ada di Jawa maupun Bali," kata Didi, salah seorang warga Sampit, yang kebetulan singgah menunaikan salat zuhur di musala di Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, tersebut, Minggu (31/10) seperti dikutip dari Antara.
-
Bagaimana bentuk menara Masjid Sememen? Dilansir dari Liputan6.com, Menara Sangga Buwana itu sangat mirip dengan Menara Panggung Sangga Buwana milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Menara itu berbentuk heksagonal yang memiliki arti arah mata angin dan empat unsur alam yaitu air, api, angin, dan tanah.
-
Kapan Masjid Raya Sumatra Barat diresmikan? Awal pembangunan masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama pada 21 Desember 2007 silam.
-
Kenapa Masjid Sememen dibangun? Masjid ini dibangun untuk mewadahi kegiatan warga kampung kauman yang dikenal sebagai kampung santri,
-
Kapan Masjid Menara di Kampung Melayu Semarang dibangun? Masjid Menara diketahui pertama kali dibangun pada tahun 1802.
-
Bagaimana kerusakan pada masjid? Laporan dari Reuters menyebutkan sebagian dari Masjid Tinmel mengalami keruntuhan. Gambar-gambar yang beredar di internet menunjukkan dinding-dinding yang roboh, menara setengah roboh, dan tumpukan besar puing.
-
Kapan Masjid Quwwatul Islam diresmikan? Pada Selasa (10/10), Gubernur DIY Sri Sultan HB X meresmikan berdirinya Masjid Quwwatul Islam di Jalan Mataram No. 1, Suryatmajan, Danurejan, Kota Yogyakarta.
Sepintas terlihat dari luar, musala yang terletak di sisi ruas jalan Trans Kalimantan Poros Selatan yang menghubungkan Sampit dan Pangkalan Bun itu memang mirip bangunan-bangunan yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
Hal itu terlihat dari gapura mengingatkan pada banyak bangunan di Pulau Jawa dan Bali, sementara itu atap musala bertingkat tiga mirip bangunan khas masjid kuno di Demak. Namun, material musala ini didominasi kayu ulin. Pagar musala dibuat tidak terlalu tinggi sehingga bangunan utama tetap terlihat secara utuh dari luar.
Cukup menarik karena ketika dilihat dari dekat, terdapat ornamen khas Dayak, salah satunya berupa telabang atau telawang dengan ukiran khas Dayak yang dipasang di kiri dan kanan gapura yang kokoh. Telawang merupakan sejenis perisai yang digunakan untuk perlindungan diri masyarakat Dayak.
Bau ciri khas kayu diselingi wangi mirip kayu gaharu tercium ketika memasuki gerbang yang mirip lorong pada gapura. Dari sini pemandangan unik musala ini semakin terlihat dan terasa.
Melihat dari dekat musala berkonstruksi kayu yang kokoh ini membuat jemaah diajak membayangkan suasana bangunan tradisional kerajaan-kerajaan di masa lalu.
Ukiran mushaf Alquran dari akar kayu ulin berada di sisi kanan pintu masuk musala. Sementara pada dinding kiri dan kanan musala terdapat empat jendela berukuran cukup besar.
Pemandangan yang sangat menarik, musala yang diresmikan pada 7 Juli 2017 ini sekitar 90 persen konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin. Kayu dengan nama latin "eusideroxylon zwageri" atau biasa disebut kayu besi ini adalah salah satu kayu yang terkenal dan terkuat di habitatnya hutan Kalimantan.
Hal yang mengejutkan, sebagian besar ulin yang digunakan untuk pembangunan musala tersebut ternyata adalah limbah atau kayu ulin yang selama ini dinilai sudah tidak terpakai.
Basuki, yang merupakan donatur pembangunan Musala As Salam menceritakan, musala tersebut dibangun di atas lahan seluas 25x22 meter. Bangunan luar musala berukuran 11x11 meter, sedangkan bagian dalam berukuran 7x7 meter dengan daya tampung berkisar 40 sampai 50 orang anggota jamaah.
Pembangunan musala didesain menggabungkan ciri khas Jawa, Dayak dan Banjar. Basuki menyebutnya sebagai penggabungan kebhinnekaan, bahkan dalam pelaksanaannya dia juga banyak dibantu rekan-rekannya yang nonmuslim.
Pembangunannya menggunakan limbah kayu ulin yang sebagian ditemukan di kawasan-kawasan bekas hutan. Sebagian ditemukan dengan menggali karena terpendam dalam tanah.
Limbah kayu ulin itu biasanya berupa akar pohon, sisa batang bekas tebangan di masa lalu maupun sisa-sisa pohon ulin bekas terbakar. Limbah ulin itu mereka angkut dan kumpulkan untuk dipilah dan dibentuk sedemikian rumah agar bisa dimanfaatkan menjadi bagian-bagian bangunan musala.
Seperti tiang-tiang musala tersebut memanfaatkan beberapa batang kayu ulin tua. Meski tidak lurus, ukuran batang tidak beraturan, bahkan sebagian berlubang-lubang, namun diyakini masih cukup kuat untuk digunakan menjadi tiang penyangga.
Dinding musala menjadi salah satu bagian yang cukup unik dan menarik. Jika lazimnya dinding bangunan kayu menggunakan kepingan papan memanjang, dinding musala ini menggunakan potongan-potongan bulatan atau gelondongan kayu ulin yang disusun yang kemudian direkatkan menggunakan pasak kayu dan lem kayu.
Soal kekuatan dinding tidak perlu diragukan. Setiap keping bulatan batang ulin yang disusun menjadi dinding tersebut memiliki ketebalan masing-masing 10 cm. Total bulatan ulin yang digunakan sebanyak 897 keping.
"Pembangunannya memakan waktu sekitar tiga tahun. Ini juga masih ada beberapa bagian yang akan dilengkapi. Makanya kami mencari tukang yang tidak hanya hebat, tapi juga sabar," kata Basuki.
Basuki mengaku membangun musala itu untuk membantu umat Islam di kawasan itu maupun musafir yang mampir dan beristirahat sejenak. Makanya di bagian sisi halaman juga dibangun semacam pendopo yang bisa digunakan untuk pengajian dan majelis taklim, juga bisa dimanfaatkan musafir yang ingin beristirahat sejenak usai beribadah sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Pengusaha yang mengaku terlahir dari keluarga miskin di sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, itu tergerak membangun musala tersebut untuk menunaikan niatnya sejak lama.
Basuki mengaku usahanya sempat bangkrut, bahkan dia memiliki hutang puluhan miliar. Dia bersyukur Allah memberikan jalan sehingga kini usahanya bisa bangkit. Untuk itu pula dia meniatkan membangun musala tersebut sebagai ibadah.
"Tujuannya untuk umat. Saya berusaha berbagi untuk kepentingan umum. Musafir, sopir maupun warga yang kebetulan melintas, silakan mampir shalat dan beristirahat di sini," katanya.
Selama ini di musalah As Salam juga dilaksanakan pengajian rutin setiap malam Jumat, sedangkan setiap sore diisi dengan kegiatan anak-anak belajar membaca Al Quran.
Basuki berharap banyak kegiatan keagamaan yang dijalankan masyarakat setempat di musala tersebut secara kontinu. Bahkan, dia berharap nantinya bisa membangun madrasah di kawasan tersebut.
Baca juga:
Doa Masuk Masjid dan Keluar Masjid, Ketahui Adabnya
JK Sebut DMI dan Kemenag Akan Koordinasi Atur Penggunaan Pengeras Suara di Masjid
Suasana Masjid Ahmadiyah Pasca Disegel Ulang Pemkot Depok
Fakta-Fakta Tentang Masjidil Haram Tak Banyak Diketahui, Punya 20 Muadzin
Banjir Pujian, Begini Kisah Warga Lamongan Iuran Bangun Masjid Selama 8 Tahun
Sidang Nurdin Abdullah, Saksi Sebut Tak Ada Intervensi dalam Pendanaan Masjid Pucak