Ahli: Jika DPR Buat Aturan Berbeda dari Putusan MK, Bisa Dibatalkan Lagi saat Digugat di MK
Titi menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh disimpangi oleh semua pihak.
Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan bahwa pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) sama mengikatnya dengan amar putusan sehingga bersifat final dan mengikat serta berlaku secara serta-merta bagi semua pihak (erga omnes).
"Pertimbangan hukum MK sama mengikatnya dengan amar putusan. Kalau DPR mengatur berbeda dengan pertimbangan hukum MK, artinya norma tersebut inkonstitusional dan bisa dibatalkan dalam pengujian di MK," kata Titi dari Jakarta, Rabu. Seperti dikutip dari Antara.
- Alasan DPR Sahkan Revisi PKPU Pilkada Sesuai Putusan MK di Hari Libur
- Baleg DPR soal Putusan MK: Ada Hukum Baru, yang Lama Tidak Berlaku
- DPR Kebut RUU Pilkada Usai MK Ubah Aturan Main, Begini Pesan Mendalam Anies Baswedan
- Terungkap! Ini Sosok yang Teken Surat Agar Baleg DPR Segera Rapat Bahas RUU Pilkada
Titi menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh disimpangi oleh semua pihak. "Kalau sampai disimpangi, telah terjadi pembangkangan konstitusi. Bila terus dibiarkan berlanjut, Pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan," ujarnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Titi merespons Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada yang tengah bergulir di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Dikatakan pula bahwa RUU Pilkada sejatinya naskah lama yang sudah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada bulan November 2023 sebagai RUU inisiatif DPR RI.
"Dengan tujuan utama untuk memajukan jadwal pilkada dari November ke September 2024. Namun, upaya itu melandai akibat adanya Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang menyebut bahwa jadwal pilkada tidak boleh dimajukan atau dimundurkan dari rancangan jadwal pilkada serentak yang ada dalam UU Pilkada, yakni November 2024," ucap dia.
Titi mengungkapkan memang ada putusan-putusan MK terkait dengan pilkada yang normanya perlu diakomodasi dalam RUU Pilkada tersebut.
Oleh sebab itu, dia mengingatkan agar revisi terbatas tersebut tidak menyimpangi putusan MK, termasuk putusan yang dibacakan pada hari Selasa (20/8) perihal syarat usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan.
"Kalau sampai revisi terbatas ini menyimpangi putusan MK yang diputus pada tanggal 20 Agustus barusan, tindakan tersebut merupakan pembangkangan konstitusi dan bisa membuat kacau balau pilkada," katanya.
Jika RUU Pilkada benar-benar menyimpang dari putusan MK, kata Titi, publik atau para pihak lainnya akan langsung menggugat ke MK.
"Kalau sampai terjadi, pilkada bisa amburadul dan akan jadi noda kotor demokrasi yang mencoreng DPR dan Pemerintah," katanya.
Pakar kepemiluan ini melanjutkan, "Massa yang tidak puas bisa melakukan perlawanan, dan bukan tidak mungkin akan ada boikot terhadap pilkada yang berjalan dengan menyimpangi putusan MK yang sejatinya isinya sangat baik bagi praktik demokrasi lokal di Indonesia."
Sebelumnya, MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih menjadi kepala daerah.
MK juga memberi ultimatum kepada KPU untuk mengikuti pertimbangan itu. Jika penyelenggara pemilu tidak mengikuti pertimbangan tersebut, calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat berpotensi dinyatakan tidak sah oleh MK jika nantinya dibawa ke tahap sengketa hasil pilkada.
Meski demikian, MK tidak mengabulkan perkara yang diajukan dua orang mahasiswa, A. Fahrur Rozi dan Anthony Lee, itu karena norma pasal yang diuji, yakni Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, telah jelas dan terang.
Menurut MK, penambahan frasa seperti yang diinginkan para pemohon justru akan menjadikan norma pasal dimaksud berbeda sendiri atau anomali.
Selain itu, MK juga mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.
Lewat putusan atas perkara yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora ini, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah.
Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan, yakni berkisar dari 6,5 hingga 10 persen.