Civitas Akademika UGM Gelar Kampus Menggugat, Serukan Tegaknya Etika dan Konstitusi
Lewat Kampus Menggugat ini, civitas akademika UGM menyerukan untuk bersama-sama mengembalikan etika dan konstitusi di Indonesia.
Civitas akademika UGM yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa hingga alumni menggelar aksi di Balairung UGM, Selasa (12/3) dengan tajuk 'Kampus Menggugat'.
- Civitas Akademika Universitas Syiah Kuala Aceh Kritik Pemerintah: Jangan Salah Gunakan Kekuasaan!
- Ini Sikap Civitas Akademika Universitas Brawijaya Terkait Penegakan Hukum dan Etika Demokrasi
- Guru Besar dan Civitas Akademi UGM Buat Petisi Kritik Pemerintah, Ini Respons Ganjar
- Guru Besar dan Civitas Akademi UGM Bikin Petisi Kritik Pemerintah, Ini Reaksi Jokowi
Civitas Akademika UGM Gelar Kampus Menggugat, Serukan Tegaknya Etika dan Konstitusi
Lewat Kampus Menggugat ini, civitas akademika UGM menyerukan untuk bersama-sama mengembalikan etika dan konstitusi di Indonesia. Civitas akademika UGM ini menilai selama lima tahun terakhir etika dan konstitusi di Indonesia telah terkoyak-koyak.
Dalam aksinya ini, Kampus Menggugat membacakan sikapnya. Pembacaan sikap ini dilakukan oleh guru besar Fisipol UGM Prof. Wahyudi Kumorotomo dan guru besar Biologi UGM Prof. Budi Setiyadi Daryono.
Prof Budi yang membacakan sikap Kampus Menggugat mengatakan civitas akademika UGM melalui gerakan Kampus Menggugat, mengundang para civitas akademika dan alumni ditiap universitas dan elemen masyarakat sipil untuk mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir.
"Universitas adalah benteng etika dan akademisi adalah insan ilmu pengetahuan yang bertanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga keadaban (civility), dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan," kata Budi.
Budi membeberkan saat ini adalah momentum warga negara melakukan refleksi dan evaluasi terhadap memburuknya kualitas kelembagaan di Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reformasi 1998, lanjut Budi adalah gerakan rakyat untuk mengembalikan amanah konstitusi, setelah terkoyak oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di masa Orde Baru. Namun, imbuh Budi, pendulum reformasi berbalik arah sejak 17 Oktober 2019 yang ditandai revisi UU KPK dan diikuti pengesahan beberapa UU lain yang dipandang kontroversial (UU Minerba, UU Cipta Kerja, dll).
Budi membeberkan pelanggaran etika dan konstitusi meningkat drastis menjelang Pemilu 2024 dan memperburuk kualitas kelembagaan formal maupun informal. Kemunduran kualitas kelembagaan ini menciptakan kendala pembangunan bagi
siapapun presiden Indonesia 2024-2029 dan selanjutnya.
"Konsekuensinya, kita semakin sulit untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, yang membayang justru adalah
Indonesia Cemas," tegas Budi.
Budi menyebut konstitusi memberikan amanah eksplisit kepada kita, warga negara Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun peradaban, menjaga keberlanjutan pembangunan, menjaga lingkungan hidup, dan menegakkan demokrasi.
"Akademisi menjalankan tugas konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tugas ini hanya dapat dilakukan ketika etika dan kebebasan mimbar ditegakkan. Kualitas kelembagaan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan," ungkap Budi.
Budi menjabarkan negara-negara yang merdeka dan kemudian berkembang menjadi negara maju adalah negara yang dengan sadar melakukan reformasi untuk memperbaiki kualitas kelembagaannya.
"Pelanggaran etika bernegara oleh para elit politik, akan mudah dicontoh oleh berbagai elemen masyarakat. Hal ini mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara, dan menjauhkan Indonesia sebagai negara hukum," terang Budi.
Sementara itu Prof. Wahyudi membacakan tiga seruan moral dari Kampus Menggugat. Tiga seruan ini berisikan:
1. Universitas sebagai benteng etika menjadi lembaga ilmiah indenpenden yang
memiliki kebebasan akademik penuh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan menyuarakan kebenaran berbasis fakta, nalar dan penelitian ilmiah.
2. Segenap elemen masyarakat sipil terus kritis terhadap jalannya pemerintahan dan
tak henti memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Ormas sosial keagamaan,
pers, NGO, CSO, tidak terkooptasi, apalagi menjadi kepanjangan tangan
pemerintah.
3. Para pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif:
a) Memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi secara substansial dan menjunjung tinggi amanah konstitusi dalam menjalankan kekuasaan demi mewujudkan cita-cita proklamasi dan janji reformasi. Politik dinasti tak boleh diberi ruang dalam sistem demokrasi.
b) Menegakkan supremasi hukum dan memberantas segala macam bentuk
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tanpa mentolerir pelanggaran hukum, etika
dan moral dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
c) Secara serius mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial bagi semua warga dan tak membiarkan negara dibajak oleh para oligark dan para politisi oportunis yang terus mengeruk keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat pada umumnya.
"Sebagai akademisi yang memahami hak dan tanggungjawab konstitusional, kami
mengetuk nurani segenap elemen masyarakat untuk bersinergi membangun kembali etika dan norma yang terkoyak dan mengembalikan marwah konstitusi yang dilanggar," urai Wahyudi.
"Apa yang kita perjuangkan saat ini akan menentukan Indonesia yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu. Hidup Demokrasi, Panjang Umur Republik!!" tutup Wahyudi.