PKS Kritisi Pasal Penyelenggara Haji dan Umroh di UU Cipta Kerja
Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir meski harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg. Namun di sisi lain, pembahasan perihal sanksi sayangnya dibahas oleh pemerintah dan DPR secara terpisah.
Anggota Baleg DPR Fraksi PKS Bukhori Yusuf mengungkapkan, bahwa UU Cipta Kerja menyimpan pasal karet di salah satu pasalnya. Temuan ini ia peroleh setelah melakukan penyisiran pada Pasal 68 UU Cipta Kerja terkait perubahan beberapa ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).
"Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019 (eksisting)," katanya, Jumat (30/10).
-
Apa yang dilakukan pelaku penipuan umrah ini terhadap para korbannya? Para jemaah pun mulai membayar biaya perjalanan umrah kepada tersangka. Sampai akhirnya, para jemaah tersebut dibawa pelaku ke Jakarta dan diinapkan di salah satu hotel selama tiga hari. "Namun setelah tiga hari ini mereka tidak kunjung diberangkatkan sampai akhirnya meyakini bahwa mereka ini sudah menjadi korban penipuan," ungkapnya.
-
Kapan seseorang dianggap sah melakukan umrah? Pelaksanaan ibadah umrah memiliki rukun atau bagian-bagian yang wajib untuk dilakukan tanpa kecuali. Apabila salah satu tidak dilaksanakan, maka ibadah umrahnya tidak sah. Rukun umrah tersebut tidak bisa ditinggalkan walaupun sebagian bisa digantikan dengan dam.
-
Kapan Kerto Pengalasan menunaikan ibadah haji? Pada dasawarsa 1860, nama Kerto Pengalasan muncul dalam buku harian seorang syekh tarekat Naqsyabandiah di Pulau Pinang yang menunjukkan bahwa dia sedang menunaikan ibadah haji.
-
Siapa saja yang diberangkatkan umroh oleh PNM? Kegiatan pemberangkatan Ibadah Umroh ini juga diberikan kepada 233 orang terdiri dari karyawan, nasabah, dan keluarga yang telah memberikan banyak kontribusi kepada perusahaan.
-
Kapan Krisdayanti dan keluarga berangkat umrah? Momen keberangkatan tersebut diabadikan Krisdayanti lewat akun instargam pribadinya pada Senin (30/10) kemarin.
-
Apa perbedaan utama antara ibadah umroh dan haji? Umroh dan haji merupakan ibadah yang hampir sama secara ritual, yakni menziarahi Baitullah di tanah suci Makkah bagi orang-orang yang mampu. Namun, pada dasarnya kedua ibadah ini jelas berbeda. Umroh adalah ibadah sunnah yang dimuliakan, sementara haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan.
"Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat," sambungnya.
Dengan itu, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir meski harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg. Namun di sisi lain, pembahasan perihal sanksi sayangnya dibahas oleh pemerintah dan DPR secara terpisah. Khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU No. 8/2019 dengan menambahkan batas waktu 5 hari
"Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini nyatanya memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis," ucapnya.
Ketua DPP PKS ini menilai, pasal sisipan tersebut sesungguhnya memiliki maksud baik, yakni memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara haji/umrah yang merugikan jemaah. Sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.
"Namun anehnya, di dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126 disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10 miliar," keluhnya.
Dia menuturkan, pasal 118A dan 119A mencakup sanksi administratif, dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, ditambah kewajiban pengembalian biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian immateriil lainnya.
"Bila dicermati lebih lanjut, sebenarnya pasal 125 dan pasal 126 memiliki maksud yang absurd akibat definisinya yang tidak jelas. Karena tampaknya pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran," tuturnya.
Padahal, lanjutnya, terkait mekanisme sanksi dari tindakan tersebut sebelumnya sudah diatur dalam bentuk sanksi administratif. Bisa dalam bentuk denda administratif hingga yang paling berat yakni pencabutan izin ditambah pengembalian setoran jemaah.
Alhasil, kata dia, konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi ini akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet. Sebab, penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sekaligus sanksi administratif.
"Berat sekali konsekuensinya bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun. Sedangkan di sisi lain, saya melihat ada potensi atau celah bagi permainan hukum di sini," katanya.
Dari segi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis ini tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran. Sebab, kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.
"Kami menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU ini sesungguhnya tidak lepas sebagai akibat dari ketergesa-gesaan selama proses penyusunannya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII ini menilai konstruksi berpikir untuk melakukan perlindungan bagi jemaah melalui regulasi baru ini sesungguhnya sudah baik. Namun, dengan munculnya potensi pasal karet tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru.
Bahkan, Bukhori dalam beberapa waktu lalu telah menerima sejumlah keluhan dari asosiasi penyelenggara haji dan umrah yang keberatan dan cemas dengan keberadaan pasal kontroversial tersebut. Sebab, ketentuan baru tersebut dinilai tidak memberikan kepastian hukum bagi mereka dan sangat rentan dijadikan objek permainan hukum.
"Kami juga mengamini bahwa bagi pihak penyelenggara umrah dan haji yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan sebenarnya sudah masuk dalam ketentuan pidana," ungkapnya.
Dia menambahkan, dengan melihat fakta bahwa ancaman hukuman dalam UU Cipta Kerja ini sifatnya berlapis, dia mengusulkan pasal pidananya sebaiknya dicabut.
"Agar tidak membuka ruang spekulasi bagi para penegak hukum sehingga memberikan kepastian hukum bagi PIHK dan PPIU sesuai dengan asas keadilan," pungkasnya.
Baca juga:
Polda Metro Dalami Video Viral Pembakar Halte Transjakarta HI
Airlangga Yakin UU UU Cipta Kerja Bisa Pulihkan Ekonomi Nasional
KSPI Tanggapi UMP 2021 Tak Naik: Ibu Ida Fauziyah itu Menteri Apindo Bukan Menaker
Reses DPR, Misbakhun Temui Konstituen di Pasuruan Sosialisasikan UU Cipta Kerja
12 Kamera ETLE Rusak Usai Demo Tolak UU Cipta Kerja
PKS: Perusak Halte Adalah Oknum, Milenial Banyak Karyanya