Putusan MK Ubah Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah Bikin KIM Kocok Ulang Jagoan di Pilkada 2024
Golkar akan duduk bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM) membahas hasil putusan MK tersebut.
Hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan ambang batas atau threshold calon kepala daerah turut menjadi perhatian Partai Golkar. Termasuk kemungkinan adanya evaluasi untuk perubahan sosok yang diusung dalam Pilkada 2024.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyampaikan, pihaknya akan duduk bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM) membahas hasil putusan MK tersebut.
- KPU Jamin Putusan MK soal Ambang Batas dan Batas Usia Paslon Berlaku sampai Penetapan Kepala Daerah
- Putusan MK soal Umur Calon Kepala Daerah Dinilai Kental Nuansa Politis
- Soal Putusan MK Ubah Aturan Pilkada, Komisi II dan KPU Akan Rapat Senin Pekan Depan
- Menkopolhukam Tanggapi Putusan MA soal Batas Usia Kepala Daerah: Tergantung KPU
“Makanya saya kira nanti Golkar bersama dengan Koalisi Indonesia Maju mungkin harus duduk bersama lagi memetakan ulang, kira-kira nanti pasca dari putusan MK ini seperti apa,” tutur Doli di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Doli menyebut, pihaknya masih menunggu salinan lengkap putusan MK perihal perubahan ambang batas atau threshold calon kepala daerah. Sejauh ini, perubahan nama calon kepala daerah yang diusung pun kemungkinan bisa terjadi.
“Ya kalau secara politik, secara strategi, begitu peraturan berubah, terus kemudian peta kekuatan berubah, ya tentu kita harus menyesuaikan diri gitu,” jelas dia.
Namun begitu, Doli yakin KIM Plus akan solid meski menghadapi putusan MK tersebut. Terlebih, koalisi tersebut terbukti teruji dan memiliki rekam jejak kesusksesan di Pilpres 2024.
“Sejauh ini dalam pemetaan atau pencalonan pasangan-pasangan calon di sekian daerah, yang kayak kami misalnya kan kami sudah ada sekitar 27 provinsi, ada sekitar 400 kabupaten/kota, semuanya itu pasti sudah dibicarakan. Sebelum kami putuskan kami sudah bicarakan dengan teman-teman di Koalisi Indonesia Maju,” Doli menandaskan.
Respons PDIP
Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus menyatakan keputusan MK itu sebagai bentuk kemenangan melawan oligarki.
"Soal putusan MK harus dilihat sebagai kemenangan melawan oligarki parpol yang hendak membajak demokrasi dan kedaulatan rakyat dengan strategi kotak kosong," kata Deddy saat dikonfirmasi, Selasa (20/8/2024).
Deddy menilai putusan MK tersebut harus dipandang positif, sebab memastikan hadirnya lebih dari satu pasang calon dalam pilkada. Menurut Deddy, semakin banyak kandidat, akan semakin baik bagi rakyat.
"Semakin banyak calon tentu makin banyak pilihan calon pemimpin yang bisa dipertimbangkan oleh rakyat. Dan itu baik bagi rakyat dan parpol, tetapi buruk bagi oligarki dan elite politik yang antidemokrasi," kata Deddy.
Deddy menyebut kabar ini sangat menggembirakan. Karena Deddy melihat selama ini ada upaya penguasa untuk memojokkan PDIP agar tidak bisa mencalonkan di banyak daerah.
"Dengan ini kami memastikan bisa maju di daerah-daerah yang selama ini dikuasai oligarki tertentu seperti DKI, Jabar, Jatim, Jember, Banten, Papua dan sebagainya," Deddy menegaskan.
Putusan MK soal Ambang Batas Pilkada
mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.
Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.
Adapun isi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.
"Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tutur Enny dalam persidangan.