Bukan misteri, ini penjelasan mengapa tawa bisa menular
tak kita akan segera merespon suara tertawa dan memerintahkan otot-otot di wajah kita untuk ikut bergembira.
Terkadang ketika kita melihat dua orang yang sedang tertawa menanggapi sebuah lelucon yang sebenarnya sedang tidak kamu dengarkan, namun kita tetap tertawa. Kita tak tahu menertawakan apa, namun kita tetap tertawa.
Berdasarkan hasil penelitian, memang benar bahwa tertawa itu menular. Otak kita akan segera merespon suara tertawa dan memerintahkan otot-otot di wajah kita untuk ikut bergembira.
-
Siapa yang melakukan penelitian mengenai keheningan? “Sejauh ini, sampai penelitian kami muncul, belum ada tes empiris utama untuk pertanyaan ini. Dan itulah yang ingin kami berikan,” kata Rui Zhe Goh, peneliti bidang Sains dan Filsafat dari Johns Hopkins University. Goh dan para profesornya mengerjakan ilusi sonik untuk memahami jika orang merasakan keheningan saat mereka memproses suara dari perspektif kognitif.
-
Kapan penelitian ini dilakukan? Studi ini didasarkan pada National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 1999–2018, yang melibatkan lebih dari 17.000 wanita berusia 20 hingga 65 tahun.
-
Mengapa penelitian ini penting untuk memahami perkembangan tubuh dan penyakit? Studi ini memberikan pemahaman lebih lanjut tentang proses perkembangan yang mendasari, yang dapat membantu dalam penelitian dan penanganan penyakit di masa depan.
-
Di mana penelitian ini dilakukan? Tim peneliti dari Universitas Yonsei di Seoul, Korea Selatan, berhasil mengembangkan varietas beras hibrida yang dipadukan dengan protein daging sapi dan sel lemak.
-
Mengapa penelitian ini penting? Selain membantu memahami lebih lanjut tentang sistem cuaca unik di planet es, temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa medan magnet Neptunus dan Uranus berbeda dengan medan simetris yang dimiliki Bumi.
Sophie Scott, seorang ahli saraf di University College London, menyatakan bahwa ketika kita berbicara kepada seseorang, seringkali kita meniru perilakunya, meniru kata yang dipakainya, bahkan meniru gestur yang dipakainya. Dan hal tersebut ternyata juga bekerja pada tawa juga.
Hal ini tak selalu bekerja kepada orang lain, namun otak kita akan selalu merespon tawa dengan tawa pula. Kemampuan kita dalam menahannya ataupun meneruskan impuls tersebut jadi perilaku lain tentu berbeda di setiap orang.
Scott dan beberapa peneliti yang lain melakukan penelitian dengan mengukur respon yang dirasakan oleh partisipan dengan alat pemindai otak fMRI. Beberapa suara seperti suara tertawa dan suara teriakan kejayaan, adalah suara yang positif. Sedangkan suara teriakan serta suara muntah, adalah hal suara yang negatif.
Semua suara tersebut memicu respon di premotor cortical region dari otak, yang secara otomatis mengirim perintah ke otot wajah untuk bereaksi atas suara tersebut.
Respon ini akan makin tinggi kepada suara yang positif, yang berarti suara positif lebih menular ketimbang negatif. Hal ini menjelaskan mengapa kita seketika ikut tertawa jika seseorang tertawa.
Para peneliti juga menguji pergerakan dari otot wajah, ketika diperdengarkan suara tersebut. Jadi seseorang lebih cenderung tersenyum ketika mereka mendengarkan tawa, namun mereka tidak membuat ekspresi tersedak ketika mereka mendengar suara muntahan. Hal ini menunjukkan bahwa otak kita menghindari emosi negatif yang datang melalui suara.
Berdasarkan penelitian ini, Scott percaya bahwa menularnya tawa adalah faktor sosial yang sangat penting di masyarakat. Para peneliti juga percaya bahwa nenek moyang manusia telah mempraktikkan hal ini, yakni tertawa di dalam sebuah kelompok, sebelum mereka menemukan bahasa.
Baca juga:
Benarkah tertawa mampu halau rasa sakit?
Tertawa paling ampuh cegah risiko penyakit jantung
Tertawa terbahak-bahak ampuh tingkatkan sistem kekebalan tubuh
Penderita sinus? Ringankan dengan 5 cara mudah ini
Sering sakit punggung? Redakan dengan meditasi
Ini yang terjadi pada tubuhmu saat perut kosong
Amankan melahirkan dengan metode lotus birth?