Ritual Aneh Seorang Pria di Jepang Buang Air Besar di Hutan selama 50 Tahun
Ia meyakini bahwa ritual tersebut merupakan filosofi hidup yang harmonis dengan alam.
Bagi Masana Izawa, panggilan alam memiliki makna yang sangat mendalam. Selama lebih dari 50 tahun, pria berusia 74 tahun ini menjalani kebiasaan yang unik: buang air besar (BAB) di hutan.
Di Jepang, praktik ini dikenal dengan istilah "noguso", dan Izawa merupakan salah satu pendukung utama yang mempromosikan filosofi hidup yang harmonis dengan alam.
-
Apa yang dilakukan saat ritual Mubeng Beteng? Ritual ini dilakukan dengan cara mengelilingi benteng Keraton dan tidak bicara selama perjalanan.
-
Kapan ritual Seblang Bakungan diselenggarakan? Seblang Bakungan digelar setiap 17 Dzulhijjah atau sepekan setelah hari raya Idul Adha atau lebaran haji.
-
Kapan Ritual Adat Laluhan dilakukan? Pada peringatan hari jadi ke-218 Kota Kuala Kapuas, Acara Adat Laluhan khas Suku Dayak kembali digelar.
-
Kapan ritual Grebeg Tirto Aji di Wendit dilakukan? Pertama, ritual Grebeg Tirto Aji. Masyarakat Suku Tengger dari empat daerah, yakni Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang, menggelar ritual ini setiap Kamis Pahing bulan Rajab dalam penanggalan Jawa.
-
Mengapa ritual Tirto Mukti Rekso Bumi dianggap penting? “Sebenarnya ritual Tirto Mukti Rekso Bumi ini tak ada bedanya dengan ritual nenek moyang di masa lalu. Memberikan sesaji di tempat-tempat suci, di hutan-hutan yang dianggap angker dan sebagainya. Bukan berarti kita ingin membangkitkan hal-hal berbau kontroversi. Tapi lebih bagaimana mengemas bahwa ini adalah daya tarik yang berlatar belakang perilaku nenek moyang,”
-
Apa yang dilakukan para pemuda ketika Jepang menyerah? Para pemuda sempat mengancam Sukarno. Mereka meminta Bung Karno segera memberi tanda bergerak. Mereka mengaku sudah siap melawan Jepang dan merampas senjata mereka..
"Kita bertahan hidup dengan memakan makhluk hidup lainnya. Namun, Anda bisa mengembalikan kotoran ke alam sehingga organisme di tanah dapat mengurainya," jelas Izawa kepada AFP, sebagaimana dikutip oleh Bangkok Post, pada hari Minggu (12/1).
"Ini berarti Anda memberi kehidupan kembali. Apa yang lebih luhur dari itu?" tambah dia.
Izawa, yang dijuluki "Fundo-shi" atau "master pupuk dari kotoran", telah menjadi sosok terkenal di Jepang. Ia telah menerbitkan berbagai buku, memberikan ceramah, dan muncul dalam beberapa dokumenter.
Banyak orang tertarik untuk mengunjungi "Poopland", sebuah kawasan hutan seluas 7.000 meter persegi di Sakuragawa, utara Tokyo, untuk belajar tentang praktik buang air besar di alam terbuka. Di lokasi tersebut, pengunjung diajarkan cara melakukan "noguso", yang mencakup langkah-langkah seperti menggali lubang, menggunakan daun untuk membersihkan diri, mencuci dengan air, dan menandai lokasi dengan ranting.
Izawa bahkan mencatat proses dekomposisi kotorannya untuk memastikan bahwa kotoran manusia sepenuhnya terurai.
- Kenalan dengan Tradisi Hajat Arwah di Bandung Barat, Ritual “Beri Hadiah” pada Orang yang Sudah Wafat
- Mengenal Rebo Kasan, Tradisi Doa Bersama yang Merekatkan Kebersamaan Masyarakat Daerah Air Anyir
- Menikmati Pleret Jajanan Tradisional Khas Jawa untuk Ritual Tanam Padi hingga Pesta Pernikahan, Legit Gurih dan Kaya Filosofi
- Digelar Setiap Jelang Tahun Baru Imlek, Begini Serunya Ritual Pao Oen di Kota Solo
"Daun-daun ini, apakah Anda bisa merasakan betapa lembutnya mereka?" tanyanya sambil menunjukkan daun pohon silver poplar. "Lebih nyaman daripada kertas/tisu."
Timbulkan Perdebatan
Izawa, seorang mantan fotografer alam yang pensiun pada tahun 2006, mengalami pencerahan mengenai konsep "noguso" ketika berusia 20 tahun.
Pada saat itu, ia menyaksikan protes terhadap pembangunan pabrik pengolahan limbah dan menyatakan, "Kita semua menghasilkan kotoran, tetapi para demonstran ingin pabrik itu jauh dari pandangan mereka."
Ia menganggap argumen tersebut sangat egosentris. Sejak momen itu, Izawa memutuskan untuk melakukan buang air besar di alam terbuka sebagai upaya mengurangi dampak lingkungan.
Meskipun ia percaya bahwa metodenya lebih ramah lingkungan dibandingkan penggunaan toilet modern yang mengonsumsi banyak air, energi, dan bahan kimia, praktiknya masih menuai kontroversi.
Di Jepang, tindakan buang air besar di tempat terbuka merupakan hal yang dilarang, tetapi Izawa dapat menghindari hukum karena ia memiliki kawasan hutan pribadi untuk melakukan praktik tersebut.
Namun, para ahli, termasuk Kazumichi Fujii, seorang ilmuwan tanah dari Institut Penelitian Kehutanan dan Produk Hutan Jepang, memberikan peringatan bahwa kotoran manusia dapat mengandung bakteri berbahaya.
Fujii juga menekankan bahwa tindakan mencicipi tanah untuk membuktikan keamanannya, seperti yang dilakukan oleh Izawa, adalah suatu tindakan yang berisiko.
Dalam sejarah, seperti pada era Edo di Tokyo kuno, kotoran manusia digunakan sebagai pupuk. Namun, praktik tersebut menyebabkan sekitar 70 persen penduduk mengalami infeksi parasit.
Mengorbankan Aspek Pribadi
Dedikasi Izawa terhadap konsep "noguso" melibatkan sejumlah pengorbanan. Pernikahannya berakhir setelah ia membatalkan rencana untuk mengunjungi Machu Picchu, sebuah situs wisata terkenal di Peru, karena harus menggunakan toilet umum di lokasi tersebut.
"Saya mengorbankan istri saya dan perjalanan ke Machu Picchu hanya untuk sebuah 'noguso'," ungkapnya sambil tertawa.
Saat perhatian terhadap isu perubahan iklim dan keberlanjutan semakin meningkat, Izawa merasakan adanya ketertarikan yang lebih besar terhadap filosofi hidupnya, terutama di kalangan generasi muda.
Ia memiliki harapan agar tubuhnya dapat terurai di hutan, bukan dikremasi seperti yang umumnya dilakukan dalam tradisi Jepang. "Bagi saya, tujuan hidup adalah melakukan 'noguso'," kata Izawa.
Meskipun banyak orang menganggap metodenya ekstrem, Izawa tetap berpegang pada keyakinan bahwa manusia seharusnya hidup lebih selaras dengan alam.
Dengan pandangan ini, ia berharap dapat menginspirasi orang lain untuk lebih menghargai lingkungan dan mengubah cara pandang mereka terhadap kehidupan.