Mengenal Mubeng Beteng, Tradisi Keraton Yogyakarta di Malam Satu Suro
Banyak makna filosofis yang terkandung dalam tradisi ini
Banyak makna filosofis yang terkandung dalam tradisi ini
Mengenal Mubeng Beteng, Tradisi Keraton Yogyakarta di Malam Satu Suro
Setiap menyambut Malam 1 Suro, Keraton Yogyakarta menggelar acara tahunan yaitu Lampah Budaya Mubeng Beteng. Ritual ini dilakukan dengan cara mengelilingi benteng Keraton dan tidak bicara selama perjalanan.
-
Bagaimana ritual Mubeng Benteng di Yogyakarta dilakukan? Para peserta mengelilingi kompleks Keraton Yogyakarta tanpa bicara atau bersuara, makan, dan minum.
-
Kapan tradisi Mubeng Benteng di Yogyakarta dilakukan? Di Yogyakarta, tradisi Mubeng Benteng dilakukan untuk menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam.
-
Di mana tradisi Malam 1 Suro dirayakan? Seperti yang telah disebut sebelumnya, sejarah malam 1 Suro saat ini tak bisa lepas dari tradisi perayaan yang dilakukan oleh keraton. Yang paling terkenal adalah perayaan malam 1 Suro oleh Keraton Ngayogyakarta dan Keraton Surakarta.
-
Bagaimana tradisi malam satu suro dirayakan di Cirebon? Di malam itu, para abdi dalem keraton beserta warga bersama-sama melakukan tradisi mengelilingi keraton sembari mengarak makanan tumpeng beserta lauk pauknya.
-
Dimana ritual malam 1 suro? Lokasi ini disebut memilki nilai sisi spiritual kuat.
-
Bagaimana masyarakat Jawa rayakan Malam 1 Suro? Banyak pandangan dalam masyarakat Jawa yang menganggap malam 1 Suro sebagai malam keramat. Terlebih apabila malam 1 Suro jatuh pada Jumat Legi karena malam ini dikaitkan dengan hal-hal mistis.
Dalam prosesi itu, para peserta mubeng beteng berjalan tanpa alas kaki. Tradisi tersebut merupakan ritual rutin yang bertujuan sebagai perenungan pergantian tahun. "Tujuannya sebagai perenungan. Apa saja yang sudah kita lakukan. Sembari memanjatkan syukur serta doa agar ke depan bisa lebih baik lagi," kata panitia mubeng beteng, KRT Wijoyo Pamungkas, pada 25 Oktober 2014.
Sementara itu Ketua Mubeng Beteng tahun 2017, KRT Gondohadiningrat mengatakan bahwa larangan tidak boleh bicara selama perjalanan bertujuan agar peserta bisa lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Prosesi topo bisu mubeng beteng biasanya dimulai pada malam satu Suro pukul 21.00 WIB. Acara itu diawali dengan doa oleh para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Seusai berdoa, peserta berjalan kaki mengelilingi benteng keraton dengan membawa bendera yaitu cucuk lampah Sang Saka Merah Putih, klebet Bangun Tolak (Yogya), klebet Mega Ngampak (Sleman), klebet Pareanom (Kulonprogo), klebet Pandan Binetot (Bantul), klebet Podang Ngisep Sari (Gunungkidul), barisan abdi dalem lalui diikuti masyarakat umum.
Biasanya, tradisi ini akan dimulai dari sisi kiri atau barat kraton.
Makna dari tempat permulaan tradisi itu adalah untuk “ngiwake” (mengkirikan) atau membuang hal-hal buruk.
Para peserta topo bisu mubeng beteng berjalan dari Alun-Alun Utara melalui jalan kauman, Jalan Wahid Hasyim, Pojok Beteng Kulon, Gading, Pojok Beteng Wetan, melalui Jalan Brigjen Katamso, menyusuri Jalan Ibu Ruswo, Jalan Pekapalan dan berakhir di Keben. Acara diakhiri dengan grebeg dua buah gunungan di alun-alun utara. Grebeg gunungan ini merupakan bentuk ucapan syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas berkah sepanjang tahun.
Ditiadakan Selama Pandemi COVID-19
Tradisi Mubeng Beteng pada malam 1 Suro di Kraton Yogyakarta sempat ditiadakan selama pandemi COVID-19. Pada waktu itu, Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Yogyakarta, GKR Condrokirono, mengatakan bahwa ditiadakannya tradisi tersebut merupakan langkah antisipasi penyebaran Virus Corona. "Karena situasi yang tidak memungkinkan dan mengikuti peraturan pemerintah, maka untuk tahun ini (tahun 2020) mubeng beteng ditiadakan," katanya dikutip dari Merdeka.com pada 19 Agustus 2020.