Tiga Lembaga Survei Keluar dari Persepi, Ada Apa?
Poltracking memutuskan untuk keluar dari PERSEPI karena merasa diperlakukan secara tidak adil oleh Dewan Etik PERSEPI dalam konteks survei Pilkada Jakarta 2024.
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) kini kehilangan tiga anggotanya. Pertama, lembaga Poltracking Indonesia mengumumkan keputusannya untuk keluar dari organisasi ini, diikuti oleh Parameter Politik Indonesia (PPI) dan Voxpol Center Research and Consulting.
"Poltracking pada 2014 diajak bergabung ke Persepi karena pertaruhan integritas, pada 2024 Poltracking keluar dari Persepi juga karena pertaruhan integritas," ungkap Masduri Amrawi, Direktur Poltracking Indonesia, dalam keterangan pers di Jakarta pada Kamis (7/11).
- 6 Alasan Dewan Etik Persepi Sanksi Poltracking
- Persepi Buka-Bukaan Data Investigasi Hasil Survei LSI dan Poltracking di Pilkada Jakarta 2024
- Survei Pilkada Jakarta Dianggap Tak Kredibel, Poltracking Pilih Keluar dari Persepi
- Ini yang Digali Dewan Etik Persepi Terkait Perbedaan Hasil Survei Pilkada Jakarta LSI dan Poltracking
Keputusan Poltracking untuk meninggalkan PERSEPI didasari oleh perlakuan yang dianggap tidak adil dari Dewan Etik PERSEPI terkait survei Pilkada Jakarta 2024. Mereka merasakan adanya ketidakadilan dalam proses pemeriksaan serta pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Dewan Etik PERSEPI.
Setelah Poltracking, Parameter Politik Indonesia (PPI) juga menyatakan keluar dari PERSEPI. Dalam surat resmi yang ditandatangani oleh Direktur PPI, Sadam Husen Falahuddin, lembaga ini menegaskan bahwa keputusan untuk mundur dari PERSEPI adalah keputusan yang diambil secara sukarela.
Adi Prayitno, peneliti senior PPI, menegaskan bahwa keputusan ini tidak berkaitan dengan perselisihan antara PERSEPI dan Poltracking.
"Enggak ada urusannya dengan sengketa Lembaga lain. Murni alasan internal organisasi," ujar Adi.
Selanjutnya, Voxpol Center Research and Consulting juga mengumumkan keputusannya untuk keluar dari PERSEPI. Voxpol mengajukan surat pengunduran diri dari keanggotaan PERSEPI.
"Melalui surat ini, kami Voxpol Center Research and Consulting menyatakan keluar dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian bunyi surat tersebut.
Direktur Eksekutif Voxpol, Pangi Syarwi Chaniago, membenarkan langkah ini. Pangi mengonfirmasi bahwa Voxpol telah resmi keluar dari PERSEPI.
"Benar," jawab Pangi singkat saat dimintai konfirmasi mengenai keluarnya Voxpol dari PERSEPI.
Independensi Dewan Etik Dipertanyakan
Guru Besar Komunikasi Politik di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Karim Suryadi, memberikan pandangannya mengenai kekisruhan yang melibatkan Persepi terkait Pilkada Jakarta 2024. Ia mengungkapkan keheranannya terhadap Persepi, karena jika hasil survei Pilkada Jakarta dipermasalahkan, maka hasil survei untuk Pilkada Jawa Tengah juga seharusnya dipertanyakan, mengingat terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan.
"Kalau Jakarta itu Poltracking beda jauh dari yang lain-lain dengan memenangkan Ridwan Kamil, itu sama kasusnya dengan Jawa Tengah di mana SMRC, Kompas, LKPI itu memenangkan Andika-Hendrar. SMRC dengan Litbang Kompas tipis, tapi LKPI itu menang jauh, tapi enggak diapa-apain," jelas Karim saat dihubungi pada Kamis (11/7/2024).
Lebih lanjut, ia juga menyoroti hasil survei lain yang dilakukan oleh LSI Denny JA, yang menunjukkan hasil berbeda dengan tiga lembaga survei sebelumnya untuk Jawa Tengah, di mana hasilnya justru memenangkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin. "Pertanyaannya, kalau yang jomplang itu yang menyebabkan Poltracking diperiksa, lalu mengapa LSI Denny JA tidak diperiksa? Kan sama-sama anggota Persepi. Maksud saya, saya setuju ada penegakan etik dari para polster ini," ungkap Karim. Ia menambahkan, "Kenapa? Ketika hasil survei itu diekspos, itu bukan lagi masukan dari kandidat, tapi sudah pengiringan opini. Jadi bisa menjadi gizi atau menjadi racun bagi publik."
Karena alasan tersebut, meskipun ia tidak mempermasalahkan adanya pemeriksaan etik, Karim menekankan bahwa dewan etik harus bersikap netral, objektif, dan tidak memihak.
"Yang menjadi pertanyaan saya bagaimana tingkat independensi dan obyektifitas dewan etik. Apakah dewan etik keanggotannya itu terbebas dari kepentingan lembaga survei atau tidak. Jadi publik bertanya-tanya, apakah murni ingin menegakan etik atau jangan-jangan rebutan kavling, rebutan lahan. Itu yang tidak baik," ungkap Prof Karim.
Ia juga meminta agar Persepi menjelaskan kepada publik secara terbuka bahwa sebagai asosiasi, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan lembaga survei manapun.
"Harus jelaskan secara terbuka. Dan yang paling penting menurut saya bukan Poltracking punya dua data, bukan itu, tapi juga menjelaskan bagaimana tingkat independensi keanggotaan dewan etik dan mereka tak punya kepentingan. Mereka harus menyatakan mereka tak punya kepentingan dengan lembaga survei manapun, itu yang penting," tuturnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa jika dewan etik Persepi ingin berlaku adil, seharusnya tidak hanya menyidangkan perbedaan hasil survei di Pilkada Jakarta, tetapi juga di daerah lain yang mengalami situasi serupa.
"Mengapa misalnya Jakarta yang dicermati, yang Jawa Tengah tidak. Ada urusan apa? Kan sama-sama melibatkan kepentingan publik. Jangan ada tebang pilih, kemudian independensi keanggotaan dewan etik itu mutlak harus dimiliki," pungkasnya.