4 Ketakutan yang Bikin Keinginan Berinvestasi Gagal
Masyarakat memang harus 'dipaksa' untuk mencoba sesuatu yang baru, yang jelas-jelas lebih bermanfaat. Demikian, juga halnya dengan berinvestasi khususnya produk-produk pasar modal. Banyaknya ketakutan kadang membuat masyarakat urung berinvestasi.
Mengubah kebiasaan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan di negeri ini. Tentu yang dimaksud adalah mengubah sesuatu untuk menjadi lebih baik, lebih efektif dan lebih efisien. Teknologi sudah sedemikian maju, memudahkan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari.
Mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Nicky Hogan mengatakan, masyarakat memang harus 'dipaksa' untuk mencoba sesuatu yang baru, yang jelas-jelas lebih bermanfaat. Demikian, juga halnya dengan berinvestasi khususnya produk-produk pasar modal. Banyaknya ketakutan kadang membuat masyarakat urung berinvestasi.
-
Bagaimana cara membagi anggaran untuk investasi? Martua menyarankan adanya pembagian porsi alokasi anggaran untuk berinvestasi.“Untuk pemula, secara umum bisa dialokasikan dengan pembagian 40% - 30% - 20% dan 10%," rinci Martua.
-
Apa yang perlu dilakukan untuk menghindari jebakan investasi? Tak banyak yang tahu, jika investasi memang termasuk salah satu cara menjadi miliarder tanpa modal besar paling efektif. Akan tetapi, Anda perlu berhati-hati memilih instrumen investasi. Jangan mudah terjebak investasi spekulatif, yaitu jenis investasi dengan tawaran keuntungan terlalu besar dan cenderung tidak normal. Alih-alih untung, Anda justru berisiko terkena penipuan saat memilih instrumen investasi semacam ini.
-
Bagaimana cara menghindari utang dalam tips keuangan? Hindari utang dalam tips keuangan dengan menjalani gaya hidup yang tidak bergantung pada pinjaman atau utang berlebihan. Selain itu, Anda bisa bijak dalam mengelola uang Anda. Hal ini dapat membantu kalian membuat keputusan keuangan yang lebih bijak di masa depan.
-
Bagaimana cara meminimalisir risiko investasi saham? Risiko selalu ada, tapi investor pemula bisa meminimalisir risikonya dengan melakukan riset terlebih dulu.
-
Bagaimana Jakarta mendorong investor untuk menanamkan modal di proyek-proyek potensial? Pemprov DKI Jakarta mengundang para investor untuk datang menjajaki berbagai proyek potensial yang dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD) serta badan layanan umum daerah (BLUD).
-
Bagaimana cara memulai investasi bagi pemula? Untuk itu, kegiatan investasi harus dilakukan dengan dana khusus. Terlebih lagi bagi para pemula yang masih belum memahami cara kerja investasi.
Dalam hal berinvestasi ada empat ketakutan yang bikin keinginan berinvestasi menjadi surut. Merdeka.com merangkum satu persatu alasan tersebut dikutip dari buku Yuk Nabung Saham: Selamat Datang, Investor Indonesia. Karya Nicky Hogan.
Takut Mencoba
Menggunakan kartu e-toll dan pertama kali melintas di jalur khusus, mungkin cukup menakutkan bagi sebagian orang. Takut tersendat lama, dan membayangkan pengemudi di belakang kita akan menggerutu, sambil berharap tidak terdengar bunyi klakson.
"Padahal kegagalan terbesar kita justru pada saat kita memutuskan untuk tidak mencoba sesuatu yang baru, yang sebenarnya akan memberi manfaat lebih untuk kita. Dan investasi adalah sesuatu itu," kata Nicky.
Cerita kegagalan dalam berinvestasi kerap terjadi justru karena kita bukan berinvestasi, melainkan berspekulasi. Membeli saham-saham terbaik (di industrinya), hampir pasti selalu memberikan keuntungan (dividen) setiap tahun, serta potensi kenaikan harga dari waktu ke waktu.
"Bahkan saat kita wariskan suatu saat nanti harganya semakin tinggi. Dan ini rasanya jauh dari kata gagal yang berputar terus di kepala kita selama ini. Sekali lagi, investasi dan bukan spekulasi," jelasnya.
Takut Ditipu
Hal berikutnya adalah ketakutan membayangkan bahwa kita mungkin ditipu. Saham, reksa dana, atau obligasi adalah produk-produk keuangan yang resmi di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tidak ada yang perlu ditakutkan. Instrumen-instrumen ini jelas real.
Membeli saham adalah menjadi pemilik perusahaan yang kita beli. Membeli obligasi adalah memberikan pinjaman kepada negara atau perusahaan yang menerbitkan obligasi tersebut. Membeli reksa dana adalah menyerahkan dana untuk dikelola Manajer Investasi dalam bentuk saham, obligasi ataupun instrumen-instrumen investasi lainnya.
Di luar sana, sampai kapanpun juga, tentu saja akan selalu ada pihak-pihak yang berniat menipu, dalam berbagai bentuk. Berpikir secara bijak dan memahami secara rasional produk-produk investasi adalah awal terbaik untuk terhindar dari risiko tertipu.
"Saham, obligasi, dan reksa dana adalah produk-produk terbaik untuk kita mulai. OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah dua lembaga yang dapat kita andalkan untuk mendapatkan informasi atas tawaran-tawaran investasi yang ada," jelas Nicky.
Takut Matematika
Ada juga ketakutan lain, yakni takut dengan hitung-hitungan, angka-angka, pembukuan atau matematika. Terbayang investasi yang 'njlimet'. Analisis ini itu, perhitungan sana-sini, prediksi atas bawah.
"Kita tidak perlu membuat investasi menjadi serumit itu. Tanpa bermaksud mengatakan bahwa investasi itu juga sesuatu yang sangat mudah. Satu hal yang pasti, investasi itu sederhana," kata Nicky.
Seperti disebutkan di atas, tengok saja perusahaan-perusahaan terbaik di bidangnya. Itu sudah cukup memberikan gambaran mengenai bakal pilihan saham pertama kita.
"Tetapi baiklah, kalaupun kita tetap fobia dengan angka-angka dan hitung-hitungan, seharusnya kita kan tidak perlu takut sedikitpun dengan para Manajer Investasi yang mengelola reksa dana kita ataupun para broker yang selalu setia memberikan kita masukan-masukan mengenai investasi saham kita," paparnya.
Takut Rugi
Terakhir adalah takut kalah atau rugi. Ketika memperlakukan saham sebagai produk spekulasi, maka akan berhadapan dengan istilah menang dan kalah. Namun, saat menempatkan saham sebagai instrumen investasi, tentu masih ada kemungkinan rugi.
Layaknya menjadi pengusaha, tentu saja ada risiko usaha kita merugi. Namun negeri ini bertahun-tahun memiliki setumpuk instrumen investasi yang terbukti menguntungkan, dan masih juga menapak masa depan dengan begitu besar potensi keuntungan.
"Satu hal yang sering kita lupakan, di satu sisi kita adalah orang-orang yang menaruh harapan akan masa depan yang lebih baik untuk kita dan keluarga, dan kita optimistis mengenai itu. Namun di sisi lain, kok kita tidak kunjung mulai berinvestasi, padahal investasi identik dengan optimisme itu sendiri. Investor adalah orang yang optimis," tandasnya.
(mdk/idr)