Aturan Produk Tembakau Diperketat, Begini Dampak dan Perkiraan Kerugian Ekonomi Ditanggung Negara
Penerapan pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun.
Pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan tersebut diprediksi dapat mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri.
Aturan Produk Tembakau Diperketat, Begini Dampak dan Perkiraan Kerugian Ekonomi Ditanggung Negara
Aturan Produk Tembakau Diperketat, Begini Dampak dan Perkiraan Kerugian Ekonomi Ditanggung Negara
Pemerintah tengah mengejar target untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
RPP tersebut memuat pasal-pasal tembakau yang diantaranya memuat aturan untuk pengendalian produksi, penjualan, dan sponsorship produk tembakau.
Pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan tersebut diprediksi dapat mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri.
Kajian terkini dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyimpulkan negara akan menanggung kerugian puluhan triliun rupiah jika pasal-pasal tembakau tersebut disahkan. Sementara itu, manfaat yang hendak didapat dari aturan tersebut belum tentu dapat dicapai.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menyatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Indef, pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan mematikan sektor Industri Hasil Tembakau. Selain itu, banyak hal yang sangat bergantung pada sektor industri tembakau.
Hasil perhitungan dan analisa Indef menunjukkan bahwa penerapan pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menggerus penerimaan negara. Perlu diketahui, pemerintah sangat membutuhkan penerimaan negara, termasuk untuk membiayai program-program kesehatan yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara.
"Jika pasal-pasal (tembakau) ini diterapkan, maka penerimaan negara akan turun. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam ketika merumuskan RPP Kesehatan ini," katanya.
Oleh karena itu, Tauhid merekomendasikan agar pasal-pasal tembakau untuk dikeluarkan dari RPP Kesehatan sehingga dapat dibahas secara lebih komprehensif.
Dalam paparan Indef, hasil dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pasal-pasal tembakau yang terdapat di RPP Kesehatan dihitung dengan metode pemodelan keseimbangan umum (Computable General Equilibrium) yang dilengkapi dengan data primer dan sekunder.
Pasal-pasal tersebut dihitung dampaknya terhadap ekonomi, antara lain berkaitan dengan jumlah kemasan, pemajangan produk dan pembatasan iklan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0,53 persen jika pasal-pasal tembakau tersebut diberlakukan.
Dari sisi penerimaan negara, Indef juga berkesimpulan bahwa penerapan pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun.
Indef melakukan perbandingan antara biaya kesehatan yang ditimbulkan dari industri tembakau dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh pasal-pasal tersebut.
Hasil perhitungan Indef menunjukkan bahwa kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara akibat pasal tembakau di RPP Kesehatan ini sebesar Rp103,08 triliun.
Sementara, pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar Rp34,1 triliun.
Selain dampak ekonomi, Indef juga mengukur seberapa besar tenaga kerja yang terdampak akibat pasal-pasal tembakau tersebut.
Setidaknya akan ada penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri tembakau dan menurunnya serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16 persen.
Untuk itu, jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini diterapkan, pemerintah diingatkan untuk perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar, yang tentunya akan akan memicu konsekuensi ekonomi maupun sosial.
Hal tersebut disampaikan Asisten Deputi Pengembangan Industri Deputi V Kementerian Perekonomian, Eko Harjanto dalam diskusi Indef yang bertajuk ‘Hitung Mundur Matinya Industri Pertembakauan Indonesia’ di Jakarta.
Menurutnya, ada beberapa substansi yang masih pada tahap pembahasan pemerintah dalam RPP Kesehatan tersebut.
Antara lain, penetapan kadar TAR dan nikotin produk tembakau, bahan tambahan, jumlah produk dalam kemasan, penjualan produk tembakau, peringatan kesehatan, iklan promosi dan sponsor.
Sebagai stabilisator perekonomian negara, pemerintah sudah seharusnya menghindari regulasi yang memberikan 'efek kejut' bagi ekosistem industri tembakau.
"Efek kejut bagi ekosistem tembakau tersebut berpotensi menurunkan optimalisasi sektor hulu yang berdampak pada kesejahteraan petani, penurunan pendapatan negara, penurunan sektor industri periklanan, penurunan sektor distributor dan ritel, penurunan sektor UMKM tembakau, dan dampak lainnya," kata Eko.
Eko menilai bahwa industri tembakau merupakan salah satu sektor industri strategis yang secara konsisten memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional melalui cukai.
Tak hanya itu, sektor industri tembakau juga berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja, serta kesejahteraan bagi petani tembakau.
Adapun, rantai pasok sektor industri tembakau menyerap hingga 6,5 juta orang, mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, tenaga kerja buruh industri, distribusi ritel, dan lainnya.
Dirinya juga menilai bahwa sektor industri tembakau merupakan industri padat karya dan padat regulasi. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam mengatur regulasi bagi sektor tersebut karena berimplikasi pada peredaran rokok ilegal yang justru akan meningkatkan prevalensi merokok anak.
Dampak negatif dari rokok ilegal bukan hanya dari kerugian cukai dan berkurangnya pendapatan negara, melainkan juga dari sisi sosial dan persaingan usaha yang tidak sehat antar industri.