Faisal Basri: Rupiah melemah karena kaburnya dana asing USD 20 miliar di 2017
Faisal mengungkapkan, di tahun 2017 saja, asing membawa pulang keuntungan yang berhasil mereka dapatkan di Indonesia hingga USD 20 miliar.
Ekonom, Faisal Basri menyebut bahwa penyebab utama pelemahan Rupiah di tahun 2018 adalah kaburnya dana asing hingga USD 20 miliar dari Indonesia pada tahun 2017 silam. Dana tersebut merupakan repatriasi dari keuntungan perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia.
"Usaha di Indonesia ini keren banget. FDI (Foreign Direct Investment) datang ke Indonesia untungnya itu banyak. Tapi untungnya itu kan mereka bawa pulang kan," kata Faisal dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/10).
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana redenominasi rupiah dilakukan di Indonesia? Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.
-
Mengapa Redenominasi Rupiah sangat penting untuk Indonesia? Rupiah (IDR) termasuk dalam golongan mata uang dengan daya beli terendah. Hal ini semakin menunjukan urgensi pelaksanaan redenominasi rupiah di Indonesia.
-
Apa manfaat utama dari Redenominasi Rupiah untuk mata uang Indonesia? Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyatakan manfaat utama dari redenominasi rupiah adalah untuk mempertahankan harkat dan martabat rupiah di antara mata uang negara lain.
-
Apa yang membuat Pejuang Rupiah istimewa? "Makin keras kamu bekerja untuk sesuatu, makin besar perasaanmu ketika kamu mencapainya."
-
Apa yang dijelaskan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengenai redenominasi rupiah? Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, implementasi redenominasi rupiah ini masih menunggu persetujuan dan pertimbangan berbagai hal.
Faisal mengungkapkan, di tahun 2017 saja, asing membawa pulang keuntungan yang berhasil mereka dapatkan di Indonesia hingga USD 20 miliar.
"Yang mereka bawa pulang itu USD 20 miliar, jadi sumber Rupiahnya memburuk itu bukan karena impornya naik, iya itu penyebab, impor minyak juga naik iya itu penyebab, tapi penyebab utamanya adalah repatriasi laba perusahaan asing di Indonesia USD 20 miliar," tegasnya.
Dia menjelaskan, angka repatriasi tersebut jauh lebih besar dibanding defisit impor migas sebesar USS 11 miliar. Oleh karena itu, Faisal menyarankan pemerintah untuk segera membuat aturan tegas mengenai batas repatriasi.
Dia melanjutkan, jika 25 persen profit atau keuntungan asing diwajibkan untuk tetap berada di Indonesia itu akan sangat membantu stabilisasi Rupiah di pasar global. "Tanamkan kembali di Indonesia, 25 persen saja. Jadi 5 persen dari USD 20 miliar kan USD 5 miliar," ujarnya.
Angka USD 5 miliar tersebut bahkan jauh lebih besar dari penghematan yang dilakukan pemerintah yaitu kenaikan bea masuk impor beberapa komoditas dan kenaikan pajak Pph pasal 22.
"Itu sudah jauh lebih banyak dari penghematan yang dilakukan oleh negara dengan menahan atau menaikkan bea masuk atau pajak PPh pasal 22 itu. Ribet segala macam itu, efeknya gak sampai USD 1 miliar dolar, ini langsung take USD 5 miliar," tegasnya.
Selain itu, Faisal menjelaskan jika uang tersebut tetap stay atau tinggal di Indonesia akan menguntungkan bagi perusahaan asing itu sendiri. "Nah mereka kan pumya uang, pilihannya dibawa pulang atau ditanamkan kembali di Indonesia karena kalau ditanamkan kembali di Indonesia hasilnya lebih baik, hitungannya cuma hasil, hasilnya lebih tinggi jika ditanam kembali di Indonesia," ujarnya.
Dia berharap pemerintah bisa segera mengambil sikap atas kondisi tersebut. Terlebih saat ini pembagian keuntungan atau dividen sudah di depan mata. "Ini kan sudah mulai lagi, dividen itu kan triwulanan di bayarnya, ini sudah masuk triwulan keempat, dibayar. Ini harus segera kita tawarkan kepada mereka (perusahaan asing) supaya mereka betul-betul setidaknya bisa menahan (tidak membawa pulang keuntungannya) untuk sementara waktu," tutupnya.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar Rupiah masih mengalami tekanan depresiasi namun dengan volatilitas yang masih terjaga.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan depresiasi Rupiah sejalan dengan mata uang negara peers akibat berlanjutnya penguatan dolar AS secara luas.
"Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,05 persen pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level Rp 14.905 per dolar AS," kata Perry di kantornya, Kamis (27/9).
Dengan perkembangan ini, lanjutnya, maka secara year to date (ytd) sampai dengan 26 September 2018, Rupiah terdepresiasi 8,97 persen atau lebih rendah dari India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki.
"Ke depan, Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," ujar Ferry.
Baca juga:
Pertama kalinya, Rupiah sentuh level Rp 15.000 terendah sejak krisis 1998
Benarkah ekonomi Indonesia saat ini dikuasai asing?
Terus merosot, nilai tukar Rupiah tembus Rp 15.049 per USD
Rupiah ditutup melemah di level Rp 15.042 per USD
Rupiah melemah, Toyota naikkan harga Rush, Agya serta Calya