Prabowo Dikabarkan Bakal Naikkan Rasio Utang, Apindo: Negara Tidak Boleh Gagal Bayar Utang
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pada Mei 2024 sudah mencapai Rp8.353,02 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pada Mei 2024 sudah mencapai Rp8.353,02 triliun.
Prabowo Dikabarkan Bakal Naikkan Rasio Utang, Apindo: Negara Tidak Boleh Gagal Bayar Utang
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dikabarkan akan menaikkan rasio utang mencapai 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal tersebut diungkapkan Adik Kandung Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo beberapa waktu lalu.
Perlu diketahui, dalam catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) posisi utang pemerintah pada Mei 2024 sudah mencapai Rp8.353,02 triliun. Jumlah utang itu naik sebesar Rp14,59 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang senilai Rp8.338,43 triliun.
Posisi itu hampir menyentuh batas rasio utang yakni 40 persen dari PDB. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Menanggapi itu, Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025 memang akan menghadapi tantangan fiskal yang cukup rumit.
Ajib menyebut ada tiga hal mendesak yang membuat ruang fiskal pemerintah sangat sempit.
Ajib menyebut ada tiga hal mendesak yang membuat ruang fiskal pemerintah sangat sempit. Pertama, jatuh tempo utang tahun 2025 yang mencapai Rp800,33 triliun, sebagai dampak pandemi Covid 19. Begitu juga dengan APBN tahun-tahun berikutnya.
"APBN tahun 2026 dan 2027 juga akan menghadapi kondisi utang jatuh tempo yang sama. Dan, negara tidak bisa failed (gagal) dalam membayar utang," kata Ajib dalam keterangan tertulisnya kepada merdeka.com, Jumat (12/7).
Kedua, beban komitmen program berkelanjutan tentang Ibu Kota Nusantara (IKN), yang akan menyedot keuangan negara. Menurutnya dengan alokasi pembangunan yang sementara bertumpu dengan kekuatan APBN, pemerintah harus tetap mengalokasikan dana khusus agar ritme pembangunan tetap bisa berjalan dengan baik.
Ketiga, program populis pemerintah Prabowo Subianto tentang makan bergizi gratis.
Dengan alokasi awal ideal di angka mencapai Rp400 triliun, sementara realitas APBN hanya bisa mengalokasikan sebesar sebesar Rp71 triliun.
"Untuk tahun-tahun selanjutnya, tentunya program ini memerlukan alokasi dana yang semakin besar," imbuh Ajib.
Sehingga Ajib menilai, hal tersebut perlu dikaji lebih mendalam, apakah fiskal Indonesia mampu menutup seluruh anggaran berjalan yang dibutuhkan.
Hal yang bisa dioptimalkan dalam pengelolaan fiskal ini adalah peningkatan peningkatan penerimaan perpajakan.
"Peningkatan penerimaan ini dengan cara pemerintah perlu mengidentifikasi grey economy dan melakukan pemajakan yang tepat sasaran. Jangan hanya seperti memungut pajak di kebun binatang. Karena hal ini akan kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi," paparnya.
Hal selanjutnya dalam peningkatan perpajakan ini yakni mengurangi pengeluaran pajak (tax expenditure) secara bertahap. Tahun 2024 ini proyeksi pengeluaran pajak mencapai Rp374,5 triliun. Pengelolaan alokasi ini perlu diefisienkan agar bisa menambah kemampuan fiskal secara keseluruhan.
Kemudian, peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan sumber daya yang berlimpah, penerimaan sektor ini bisa lebih ditingkatkan dari target konservatif tahun 2024 yang sebesar Rp492 triliun.
Terakhir, peningkatan penerimaan deviden dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Negara sebagai pemegang saham BUMN harus mempunyai alat ukur atau benchmarking yang ideal terhadap penerimaan deviden.
Ajib menilai langkah-langkah ini sangat mungkin dilakukan ketika pemerintah menerapkan good corporate governance (GCG) dan political willingness yang konsisten.
"Harapan selanjutnya, langkah-langkah tersebut bisa menambal defisit fiskal sampai dengan Rp500 triliun setiap tahun," ucap Ajib.
merdeka.com