Indonesia Resmi Gabung BRICS, Pengamat: Pemerintah Terlalu Pro China, Tak Beri Keuntungan Segi Ekonomi
Bhima menuturkan, sebaiknya pemerintah tidak hanya melihat BRICS dengan agenda China saja, tetapi ada potensi besar dengan negara Brasil.
Indonesia resmi menjadi anggota penuh kelompok Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, kepesertaan Indonesia di BRICS bisa dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan tidak hanya dengan China tapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara timur tengah.
Bhima menuturkan, sebaiknya pemerintah tidak hanya melihat BRICS dengan agenda China saja, tetapi ada potensi besar dengan negara Brasil terkait ekonomi restoratif, hingga Afrika Selatan soal pengembangan transisi energi bersih.
Dia pun menilai, apabila pemerintah Indonesia terlalu pro-China maka keanggotaan Indonesia di BRICS akan sia-sia mereplikasi hubungan ekonomi dengan China yang sudah terlalu dominan.
"Keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya sia-sia mereplikasi hubungan ekonomi dengan China yang sudah terlalu dominan," kata Bhima dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (8/1).
Di sisi lain, aliansi BRICS tidak begitu memberikan keuntungan untuk Indonesia karena ekonomi China diproyeksikan akan melambat terutama pasca kembali terpilihnya Donald Trump yang memicu proteksionisme dagang.
Direktur China-Indonesia Desk, Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat, berpandangan bahwa ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara China dan AS saat Trump akan mengacak stabilitas ekonomi di beberapa negara, dan ini tentunya akan berimbas pada Indonesia. Ditambah lagi ancaman Trump pada negara anggota BRICS jika melakukan dedolarisasi.
"Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya," ucap Zulfikar.
Ancaman dari Amerika Serikat
Apabila Amerika memberlakukan tarif 100 persen pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, sehingga tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah.
"Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS," tegas dia.
Tidak hanya itu, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada China masih menghantui Indonesia. Menurut peneliti Celios, Yeta Purnama peneliti seharusnya Indonesia lebih gencar mendiversifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang.
"Potensi kerja sama multilateral tentu akan menguntungkan tapi jika itu di circle yang sama, ketika ekonomi negara anggota yang mendominasi seperti China melemah maka akan rentan berdampak pada stabilitas ekonomi di dalam negeri,” tutur Yeta.
Lebih lanjut, catatan penting untuk Indonesia, bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko terutama jika terlalu fokus pada China. Untuk menghindari risiko ini, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi kepada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.
Selaras dengan hal tersebut, Bhima menilai Indonesia perlu memainkan peran untuk mendorong kerja sama green invesment negara anggota dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan.
"Jika berbicara Global South, sebetulnya urgensi utama yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi sektor ekstraktif. Jadi BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama green investment untuk green growth dalam beberapa tahun mendatang," Bhima mengakhiri.