Industri Makanan dan Minuman Dihantui PHK Massal, Ini Penyebabnya
GAPMMI meminta kejelasan maksud pemerintah dalam rencana pengenaan cukai minuman berpemanis.
Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, memproyeksikan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di 2025 akan sangat berpengaruh pada volume penjualan produk industri makanan dan minuman (mamin). Dampak paling buruk menurutnya, terjadi PHK massal di sektor industri mamin.
Dalam konteks ini, ia membuat perbandingan dari hitungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) soal pengenaan cukai minuman berpemanis di kisaran Rp1.700 per liter, dengan potensi kenaikan harga produk mencapai 6-15 persen.
- Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan Dianggap Mampu Lindungi Pola Konsumsi Masyarakat
- Industri Makanan Minuman Kena Dampak Pelemahan Rupiah, Beban Impor Tembus Rp500 Triliun
- Pemerintah Sentil Industri Minuman Masih Kecanduan Bahan Baku Impor, Pengusaha: Harganya Lebih Murah
- Curhat Pengusaha Minuman Ringan Makin Terpuruk: Kondisi Industri Ini Sangat Menyedihkan
Menurut perhitungan Adhi, jika hitungan cukai Rp1.700 per liter ditetapkan pada produk minuman 350 cc, nilai cukai yang bakal dipungut sekitar Rp 600 per botol.
"Kalau harga botol rerata Rp 5.000 di eceran, di pabrikan itu sekitar Rp 3.000. Berarti sekitar Rp 600 dari Rp 3.000, itu berarti naik 20 persen. Itu luar biasa, karena dari pangan olahan itu sensitif," ujar Adhi saat ditemui di Artotel Senayan, Jakarta, Senin (19/8).
Efek domino
Merujuk hitungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), ia menambahkan, elastisitas permintaan minuman berpemanis/bersoda sekitar 1,7 persen. Sehingga, jika ada kenaikan harga 1 persen akan menurunkan 1,7 persen penurunan.
"Kalau naik 20 persen, maka akan turun berapa? itu kan luar biasa. Kalau harga naik sekian, otomatis penjualan turun, maka pendapatan negara turun karena pajak perusahaan turun, mungkin ada PHK. Jadi di satu sisi penerimaan cukai naik, tapi secara keseluruhan pendapatan negara berkurang," paparnya.
Adhi menggarisbawahi, kenaikan harga 20 persen itu baru terjadi di tingkat produksi. Sementara konsumen akhir (end user) bisa menanggung lonjakan harga lebih besar.
"Kenaikan 20 persen itu di pabrik saja, bahkan bisa 30 persen (di end user). Apakah konsumen sanggup menanggung itu? saya sangat tidak yakin konsumen sanggup. Kondisi yang tidak naik sekarang ini saja pasar agak lesu meski pertumbuhan naik," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia turut meminta kejelasan maksud pemerintah dalam rencana pengenaan cukai minuman berpemanis ini. Ia tak ingin pemerintah hanya melihat tujuan kesehatan tanpa mempertimbangkan faktor ekonomi secara menyeluruh.
Adapun pada Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2025, dijelaskan bahwa tujuan pengenaan cukai terhadap MBDK salah satunya untuk menekan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) kepada masyarakat.
"Makanya saya mau clear, fungsi cukai ini untuk apa? untuk PTM atau income? sementara ini kan belum jelas. Background-nya memang untuk PTM, tapi itu tidak efektif. Saya berharap pemerintah bisa mengklarifikasi mau PTM atau income," tegas Adhi.