Jutaan Anak Muda di Negara Maju Menganggur, Ini 4 Penyebabnya
Uni Eropa terancam kehilangan satu generasi karena banyak perusahaan yang menghentikan perekrutan sejak Pandemi Covid-19.
Menurut data Straits Times, 1,26 juta dari 8,41 juta anak muda usia 15 hingga 29 tahun menganggur di Korea Selatan.
Jutaan Anak Muda di Negara Maju Menganggur, Ini 4 Penyebabnya
Jutaan Anak Muda di Negara Maju Menganggur, Ini 4 Penyebabnya
Melihat ekonomi negara maju membuat sebagian besar orang merasa optimis akan sangat mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan terjamin di negara tersebut.
Tapi tahukah Anda, nyatanya jutaan anak muda menganggur meskipun dia berada di negara maju.
Kira-kira mengapa hal tersebut bisa terjadi?
- Kasus Covid-19 Melonjak, Ini Stategi Kemenkes Cegah Penyebaran
- Dulu Paling Miskin di Desa dan Punya Banyak Utang, Agus Kini Jadi Tukang Kebun Sukses yang Punya HAKI
- Momen Manis Ayah 'Lindungi' Anaknya dari Tetesan Air Bocor di Dalam Gerbong Kereta Api, Enggak Mau Ditawari Tisu
- Gaji PNS Naik 8 Persen Tahun Depan, Besaran THR dan Gaji ke-13 Kembali Normal seperti Sebelum Covid?
Dikutip dari berbagai sumber, berikut sejumlah alasan mengapa banyak anak muda yang memilih atau justru terpaksa menganggur meski berada di negara maju:
Menurut data Straits Times, 1,26 juta dari 8,41 juta anak muda usia 15 hingga 29 tahun menganggur di Korea Selatan, di mana 53,8 persen di antaranya merupakan lulusan sarjana.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Korean Herald, 997 ribu di antaranya memilih untuk menganggur karena ingin istirahat.
Sementara yang ingin bekerja membutuhkan waktu 10 bulan untuk mendapatkan pekerjaan, karena lowongan pekerjaan yang tersedia hanya sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah lulusan sarjana baru.
2. Fenomena 'Full Time Children'
Istilah ini pertama kali muncul di media sosial China, Douban akhir tahun lalu. Menurut seorang profesor Universitas Peking, Zhang Dandan, ada sekitar 16 juta anak muda yang memilih untuk menjadi 'Full Time Children' dan tidak aktif mencari pekerjaan.
Sebagian anak memilih untuk menjadi 'Full Time Children' karena orang tuanya rela 'menggaji' anaknya sebesar CNY6.000 atau sekitar Rp13 juta per bulan. Mereka memilih membantu pekerjaan orang tuanya dibandingkan berkarir. Jumlah upah yang diberikan orang tua mereka jelas lebih tinggi dari gaji kelas menengah yang ada di China.
Secara tidak langsung, fenomena ini menunjukkan betapa rusaknya sistem kerja 996 di China yang membuat penduduknya enggan bekerja. Bagaimana tidak, budaya 996 ini membuat mereka dituntut bekerja selama 12 jam dalam sehari selama 6 hari penuh.
Berdasarkan data Statista, jumlah pengangguran di India didominasi oleh lulusan sarjana. Bahkan, baru-baru ini viral berita mengenai seorang pria bernama Sanil yang memiliki dua gelar sarjana dan master namun harus bekerja sebagai tukang sapu sekolah.
Dari pekerjaan ini, Sanil hanya mendapatkan gaji sekitar Rp1,2 juta. Hal ini mau tidak mau diterima olehnya karena mencari pekerjaan di negara tersebut tidaklah mudah. Menurut data Centre for Minotring India Economy, di tahun 2022 terdapat 40 persen populasi anak mudia di bawah usia 25 tahun di India. Sayangnya sebanyak 45,8 persen dari jumlah tersebut masih belum mendapatkan pekerjaan alias menganggur.
Tak hanya dialami oleh India, bahkan Uni Eropa terancam kehilangan satu generasi karena banyak perusahaan yang menghentikan perekrutan sejak Pandemi Covid-19.
Dalam 2 tahun terakhir, tingkat pengangguran di Inggris mencapai 4,3 persen. Hal ini diperparah oleh biaya hidup yang makin tinggi.
Akibatnya, banyak perempuan di Inggris yang terlibat prostitusi untuk memenuhi biaya hidupnya, termasuk tagihan air, listrik dan tagihan lainnya yang kian menunggak.
Sementara, tingkat pengangguran di Indonesia memang terus menurun sejak Pandemi Covid-19. Di tahun 2023, angka pengangguran Indonesia sekitar 5,45 persen. Meskipun cenderung menurun, jumlah ini masih berada di ata
rata-rata pengangguran dunia yakni 4,9 persen.