Beda dengan Indonesia, Pendaftaran CPNS di Jepang Tidak Banyak Peminatnya
Masyarakat Jepang cenderung lebih memilih berkarir di sektor swasta.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan pekerjaan impian bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Alasannya, menjadi PNS memiliki pendapatan stabil, tanpa dihantui pemutusan hubungan kerja (PHK).
Seleksi CPNS juga terjadi di berbagai negara di dunia, termasuk Jepang. Sayangnya, pada di tahun 2024 generasi muda Jepang tidak banyak yang berminat untuk menjadi pegawai negeri.
Dilansir dari The Japan Time, jumlah pelamar pegawai negeri tahun 2024 cenderung menurun. Mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri bahkan memilih untuk bermigrasi ke sektor swasta.
Data dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN) tahun 2024 menunjukkan bahwa jumlah pelamar untuk posisi jenjang karier di kementerian dan lembaga pemerintah pusat, mencapai rekor terendah dalam ujian penerimaan pegawai negeri. Selain itu, sejak tahun 2018, jumlah pegawai negeri yang berhenti setelah kurang dari 10 tahun secara konsisten telah melampaui 100 per tahun.
Terlalu sibuk untuk visi besar
"Dulu saya yakin bisa ikut berdiskusi tentang kebijakan dengan lebih bebas, tetapi kenyataan membuktikan sebaliknya. Saya masih harus menempuh jalan panjang sebelum bisa berkontribusi secara berarti pada perencanaan kebijakan," kata seorang mantan pejabat muda yang bekerja di bidang karier dari sebuah kementerian.
Ia merasa kewalahan dengan berbagai tugas, dan harus naik kereta terakhir pulang setiap hari. Meskipun ia tetap percaya diri dengan kemampuannya di tempat kerja, ia menyadari bahwa menjaga keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan sangatlah penting baginya. Akibatnya, ia membuat keputusan sulit untuk mengundurkan diri.
Bagi banyak pelajar, tujuan utama saat mencari pekerjaan adalah untuk menemukan tempat kerja yang dapat mengembangkan keterampilan mereka.
Takayoshi Kurita, kepala Lembaga Penelitian Rekrutmen Lulusan Recruit, mengatakan individu muda sangat ingin memastikan apakah mereka akan memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan serbaguna dengan cepat, yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan situasi apa pun di perusahaan yang mereka pilih.
Pergeseran dalam budaya birokrasi Jepang juga tercermin dari semakin banyaknya pegawai pemerintah muda yang mengeksplorasi peluang perubahan karier melalui situs web yang dioperasikan oleh perusahaan layanan sumber daya manusia.
Awalnya, banyak personel tersebut didorong oleh rasa ingin tahu untuk mengukur nilai pasar mereka, tetapi jika mereka menerima evaluasi yang lebih tinggi dari yang diantisipasi, mereka mulai mempertimbangkan dengan serius perubahan pekerjaan, menurut sumber dalam industri layanan perekrutan.
Tidak mengherankan, mereka dapat tertarik dengan perusahaan konsultan asing yang menjanjikan jam kerja tepat waktu tanpa lembur dan kenaikan gaji.
Gedung perkantoran pribadi yang mewah
Kesenjangan jadwal pencarian kerja antara sektor publik dan swasta merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku mahasiswa, khususnya dalam kasus perekrutan lulusan baru.
Kementerian dan lembaga pemerintah biasanya memulai proses rekrutmen lebih lambat daripada perusahaan swasta. Akibatnya, mahasiswa yang awalnya bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil sering kali merasa ketinggalan saat melihat rekan-rekannya menerima banyak tawaran pekerjaan tidak resmi dari perusahaan. Karena tidak sabar, banyak yang kemudian memilih bekerja di sektor swasta, daripada menunggu tanggal ujian kerja di kantor pemerintah.
Selain itu, lingkungan kantor memegang peranan penting yang tidak boleh diremehkan. Di pusat kota Tokyo, gedung-gedung tinggi baru terus bermunculan.
"Lingkungan tempat kerja berfungsi sebagai indikator lain investasi pengusaha dalam sumber daya manusia. Meskipun mungkin bukan satu-satunya faktor penentu, apa yang dipikirkan mahasiswa saat mereka berhadapan dengan kantor mewah perusahaan swasta?" kata Kurita dari lembaga penelitian Recruit.
Kementerian dan lembaga pemerintah tentu saja kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya manusia. Selain menangani gaya kerja "hitam" atau eksploitatif yang sering dikritik di dalam pemerintahan, upaya harus ditingkatkan untuk meningkatkan persepsi mahasiswa tentang daya tarik layanan publik. Kegagalan untuk melakukannya hanya akan mempercepat eksodus pencari kerja dari sektor publik.
Baik di sektor publik maupun swasta, para pengusaha pada dasarnya bertugas untuk meningkatkan produktivitas sekaligus memastikan gaya kerja yang berkontribusi pada keseimbangan kehidupan dan pekerjaan yang baik. Jika kantor-kantor pemerintah menerapkan upaya tersebut dengan enggan hanya demi mendapatkan kembali perhatian kaum muda, mereka tidak akan mencapai tujuan mereka.
Untuk meningkatkan kualitas layanan publik di Jepang, kini penting untuk membangun lingkungan kerja yang menyenangkan dan nyaman, bahkan di dalam kementerian dan lembaga pemerintah yang secara tradisional kaku di Kasumigaseki.