Ketua Banggar Sebut Sejak 2015 Sampai 2023, Pertumbuhan Ekonomi Sulit Capai Target
Macetnya pertumbuhan ekonomi karena selalu bergantung pada konsumsi domestik.
Pemerintah secara resmi telah menyerahkan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun 2025 pada tanggal 16 Agustus 2024 lalu. Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, mengatakan RAPBN 2025 akan menjadi jembatan dua pemerintahan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang secara resmi akan memimpin pemerintahan pada 20 Oktober 2024.
"Karena itu menurut Said, RAPBN 2025 harus menjadi titik pijak arah kebijakan pembangunan presiden terpilih," kata Said Abdullah.
- Said Abdullah Dorong Pemerintah Berani Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen
- Pemerintah Optimis Ekonomi Indonesia 2024 Tumbuh 5,2 Persen, Ini Penopangnya
- Gubernur BI Prediksi Ekonomi Indonesia Tumbuh di Atas 5 Persen Pada Kuartal II-2024
- Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen, Ganjar Tak Hanya Andalkan BUMN
Mencermati RAPBN 2025 yang disampaikan, pemerintah dilihat Said mengusulkan target pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2 persen. Ia menilai target tersebut terlampau standar. Karena menurut dia sejak 2015-2023, pemerintah kesulitan mencapai target pertumbuhan ekonomi.
"Mari kita sedikit flashback, sejak 2015 hingga 2023, hanya sekali pertumbuhan ekonomi melampaui target APBN di tahun 2022, dari target 5,2 persen, dan berhasil mencapai 5,31 persen. Kenyataan ini mengundang tanya, kenapa kita sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi?" ujar Said.
Ia merinci jawaban dari persoalan mandeknya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena menghadapi berbagai persoalan struktural. Seperti ekonomi biaya tinggi, perizinan dan korupsi, ketidakpastian hukum, kualitas SDM yang belum terampil, belum terjalin secara baik konektivitas antar wilayah dan menurunnya demokrasi. Berbagai persoalan ini menurut Said sudah dibincangkan lama sekali antara pemerintah dengan DPR. Namun hingga kini belum bisa keluar sepenuhnya dari persoalan ini.
Ketua DPP PDIP itu menambahkan macetnya pertumbuhan ekonomi karena selalu bergantung pada konsumsi domestik. Bahkan konsumsi domestik sebagai tempat gantungan perekonomian itu pun terancam menurun seiring dengan turunnya kelas menengah Indonesia.
"Sejak enam tahun lalu, jumlah kelas menengah kita turun 8 juta jiwa. Padahal merekalah sebenarnya kelas penggerak konsumsi domestik," ucapnya.