Krisis Iklim Makin Parah, Air Bersih Jadi Barang Langka Pada 2030
Kelangkaan air tidak boleh dipandang sebagai masalah sektoral, melainkan masalah yang melampaui perekonomian secara keseluruhan.
Negara besar di Asia seperti India dan China akan menjadi yang paling terkena dampak dari isu kekurangan air ini.
Krisis Iklim Makin Parah, Air Bersih Jadi Barang Langka Pada 2030
Krisis Iklim Makin Parah, Air Bersih Jadi Barang Langka Pada 2030
Kelangkaan air bersih diprediksi bakal jadi masalah paling krusial dan berpotensi berdampak ke krisis iklim yang lebih luas. Hal itu diungkapkan oleh CEO Council on Energy, Environment and Water, Arunabha Ghosh dalam acara Ecosperity Week di Singapura.
Dia menyebut, beberapa peneliti mengatakan bahwa negara-negara besar di Asia seperti India dan China akan menjadi yang paling terkena dampak dari isu kekurangan air ini.
"Bukan hanya industri lama seperti pembuatan baja, namun industri baru seperti pembuatan chip semikonduktor dan transisi ke energi ramah lingkungan akan membutuhkan banyak air," tambahnya.
Permintaan air bersih global diperkirakan akan melebihi pasokan sebesar 40 persen hingga 50 persen pada tahun 2030. Karena itu, Ghosh mengingatkan, kelangkaan air tidak boleh dipandang sebagai masalah sektoral, melainkan masalah yang melampaui perekonomian secara keseluruhan.
"Asia harus memahami bahwa hal ini merupakan kebaikan bersama di kawasan dan memitigasi risiko yang mungkin terjadi guna mencegah guncangan ekonomi akibat kelangkaan air yang parah," katanya.
Dengan penduduknya yang terdiri dari 18 persen populasi dunia, Bank Dunia mengungkapkan, India hanya mempunyai sumber daya air yang cukup untuk 4 persen penduduknya.
Hal ini menjadikan India sebagai negara yang paling rentan mengalami kekurangan air.
Negara di Asia Selatan juga sangat bergantung pada musim hujan untuk memenuhi kebutuhan air, namun perubahan iklim menyebabkan lebih banyak banjir dan kekeringan.
Kondisi di China
Menurut lembaga pemikir independen Lowy Institute, sekitar 80 persen hingga 90 persen air di China tidak layak untuk dikonsumsi. Sementara setengah dari akuifernya terlalu tercemar untuk digunakan industri dan pertanian.
Ditemukan juga, 50 persen air sungainya juga tidak layak untuk diminum, dan separuhnya juga tidak aman untuk pertanian.
Meskipun negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu telah mencapai kemajuan dalam transisi energi ramah lingkungan, sistem ketenagalistrikan mereka masih sangat bergantung pada batu bara. Dan jika tidak ada air maka tidak akan ada batu bara."Air merupakan masukan penting untuk pembangkitan pembangkit listrik tenaga batu bara, dan jika air menjadi langka atau tidak tersedia untuk pembangkit listrik, pembangkit listrik tersebut menjadi tidak efektif," Ghosh menekankan.
"Selain itu, India dan China juga berlokasi dekat dengan laut dan sungai. Hal ini memungkinkan kedua negara lebih rentan oleh naiknya permukaan air laut. Namun mereka mampu membeli teknologi dan inovasi untuk sistem penyimpanan air yang lebih baik," kata Shanshan Wang, pemimpin bisnis air Singapura di konsultan keberlanjutan Arup.