Luhut Tersinggung Pengumpulan Pajak Indonesia Disamakan dengan Nigeria
Bank Dunia menganggap tingkat pengumpulan pajak di Indonesia setara dengan Nigeria.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, merasa tersinggung ketika pengumpulan pajak Indonesia disamakan dengan Nigeria. Dia menjelaskan bahwa pemerintah telah merancang serangkaian langkah efisiensi yang memanfaatkan teknologi.
Dalam sebuah presentasi yang dilakukan oleh Bank Dunia, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan tingkat pengumpulan pajak yang rendah dan disandingkan dengan Nigeria.
- Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Menko Airlangga: Karena Ekonomi Amerika Membaik
- Demi penguatan Rupiah, Bank Indonesia Tahan Suku Bunga Acuan di 6,25 Persen
- Bukti Tak Ada Lapangan Kerja di Indonesia: Pengusaha Kecil-kecilan Menjamur, dari 100 Rumah Saja Ada 25 Warung
- Antisipasi agar Utang Tetap Dibayar, Petugas Bank Ini Buat Sumpah Nasabah Sebelum Pinjamkan Uang
"Sebenarnya waktu World Bank datang ke kantor saya, tiga minggu yang lalu, dia kasih presentasi, mengatakan Indonesia salah satu negara yang koleksi pajaknya paling jelek. Kita disamakan sama Nigeria waktu itu, saya agak tersinggung juga itu, kok iya? saya ke Nigeria dua kali," ujar Luhut, Rabu (15/1).
Menanggapi pernyataan tersebut, Luhut menjelaskan rencana pemerintah untuk membangun sistem terintegrasi yang dinamakan Government Technology (GovTech).
Salah satu contohnya adalah aplikasi PeduliLindungi yang berhasil dalam mengontrol mobilitas masyarakat serta mencegah penyebaran Covid-19.
Selain itu, terdapat juga Sistem Informasi Mineral dan Batubara Kementerian/Lembaga (SIMBARA) yang berfungsi untuk mengintegrasikan data eksplorasi mineral serta setoran pajak ke negara.
Dengan adanya sistem ini, setoran pajak dari ekspor mineral dan batu bara dapat dipantau secara digital.
"Kita tahu jumlahnya berapa, produksinya berapa, kalorinya berapa, dia mau ekspor berapa, dia sudah bayar royalty belum, sudah bayar pajak belum, ada utang di pemerintah belum. Once itu terjadi, otomatis blocking. Itu sekarang sudah jalan dan itu menaikkan penerimaan negara 40 persen, 30-40 persen," jelas Luhut.
Pengelolaan investasi masih belum optimal
Luhut menekankan pentingnya pengendalian investasi yang saat ini dinilai belum berjalan secara efisien. Akibatnya, Indonesia kehilangan potensi yang diperkirakan mencapai hampir USD 60-70 miliar. Menurutnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menata masalah ini.
"Nah ini semua kita tata ini, kita urut ini semua, identifikasi semua masalah ini. Nah oleh itu World Bank bilang, 'eh kalau kalian bisa collect pajak di bawah ini dengan benar, kalian akan bisa mendapat 6,4 persen dari GDP kalian'," ungkap Luhut.
Ia menjelaskan bahwa angka tersebut setara dengan sekitar Rp 1.500 triliun, yang merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan.
"Itu equivalent kepada kira-kira Rp 1.500 triliun. Potensi yang kita bisa ambil. Dan itu kita pelajarin, akhirnya kita usulkan pada Presiden, di DEN itu kita berbincang," tambahnya.
Dengan demikian, Luhut berharap langkah-langkah yang diambil dapat mengoptimalkan pengelolaan investasi dan pajak di Indonesia untuk mencapai pertumbuhan yang lebih baik.