Mantan Mendag Beri Catatan Soal Pemulihan Ekonomi Pasca Virus Corona
Mantan Menteri Perdagangan Periode 2011-2014, Gita Wirjawan mengeluarkan tulisan yang berjudul Kebutuhan dan Kecepatan Pemulihan Ekonomi Menghadapi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Dalam tulisan ini, dia menyoroti berbagai berbagai masalah di Indonesia akibat virus corona, beserta rencana pemulihan dari pemerintah.
Mantan Menteri Perdagangan Periode 2011-2014, Gita Wirjawan mengeluarkan tulisan yang berjudul Kebutuhan dan Kecepatan Pemulihan Ekonomi Menghadapi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Dalam tulisan ini, dia menyoroti berbagai berbagai masalah di Indonesia akibat virus corona, beserta rencana pemulihan yang sudah dirancang oleh pemerintah.
Dia menjelaskan, pemerintah sudah mengeluarkan Perppu No.1 Tahun 2020 yang sudah disetujui menjadi undang-undang, untuk menopang upaya di luar batas wajar untuk pemulihan ekonomi nasional yang terdampak oleh Covid-19. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23 tahun 2020 yang menguraikan tahapan awal untuk memberikan bantuan jaring pengaman sosial, kesehatan, pengusaha UMKM, dan dunia usaha lainnya.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Kenapa Covid Pirola mendapat perhatian khusus? Namun, para pemerhati kesehatan dan ahli virus memberi perhatian lebih terhadap subvarian ini lantaran kemampuan Pirola dalam melakukan breakthrough infections lebih tinggi dibandingkan varian lainnya. Ketika sebuah varian atau subvarian virus COVID memiliki kemampuan breakthrough infections yang tinggi maka akan menyebabkan kasus re-infeksi semakin tinggi.
-
Apa gejala Covid Pirola? Mengenai gejala yang ditimbulkan akibat infeksi Pirola, diketahui belum ada gejala yang spesifik seperti disampaikan ahli virologi dari Johns Hopkins University, Andrew Pekosz, dilansir dari Liputan 6.Namun, tetap saja ada tanda-tanda yang patut untuk Anda waspadai terkait persebaran covid Pirola. Apabila terkena COVID-19 gejala umum yang terjadi biasanya demam, batuk, sakit tenggorokan, pilek, bersih, lelah, sakit kepala, nyeri otot serta kemampuan indera penciuman berubah, maka gejala covid Pirola adalah sakit tenggorokan, pilek atau hidung tersumbat, batuk dengan atau tanpa dahak, dan sakit kepala.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Apa yang membuat kelelawar rentan terhadap penyebaran virus? Salah satu faktor utama yang membuat kelelawar menjadi vektor utama penyakit adalah keanekaragaman spesiesnya. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 1.000 spesies kelelawar yang tersebar di seluruh dunia, menjadikannya salah satu ordo mamalia yang paling beragam. Keanekaragaman ini menciptakan peluang yang lebih besar bagi virus untuk bermutasi dan menginfeksi berbagai spesies kelelawar, sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran ke manusia.
-
Bagaimana Menko Airlangga Hartarto berencana memperkuat kerja sama ekonomi di KTT G20? “Di KTT India nanti Indonesia akan terus berupaya menjalin kerja sama dengan negara-negara lainnya dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Sehingga nantinya pembangunan akan terus terjadi dan masyarakat akan sejahtera," tutur Ketua Umum DPP Partai Golkar ini.
Menurutnya, prinsip pemulihan ekonomi yang tertuang dalam perppu dan peraturan pemerintah tersebut telah memuat unsur keadilan sosial, kaidah kebijakan yang penuh kehati-hatian, dukungan untuk pelaku usaha, dan pencegahan moral hazard. Pemerintah, dalam proses pemulihan ekonomi nasional, juga bisa melakukan investasi, penjaminan, dan penempatan dana di sistem perbankan.
"Ini merupakan gagasan yang luar biasa untuk dilakukannya pemulihan ekonomi nasional. Namun, tetap ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan," kata Gita dalam tulisannya dikutip Merdeka.com, Senin (18/5).
Pertama, penekanan terhadap penempatan dana (dibanding penjaminan) di sistem perbankan lewat bank perantara mencerminkan asumsi bahwa permasalahan hanya semata dalam bentuk krisis likuiditas di perbankan. Yang perlu dipertimbangkan justru krisis kredit terkait para debitur yang sudah kesulitan karena tidak bisa beraktivitas dikarenakan kebijakan PSBB.
"Oleh karena itu, jumlah penjaminan dari pemerintah akan jauh lebih besar untuk kepentingan restrukturisasi sebagian besar dari pinjaman para debitur di perbankan nasional," imbuhnya.
Kedua, mengingat adanya keterbatasan ruang fiskal dan moneter untuk membuahkan bantuan dengan kecepatan yang tinggi dan jumlah yang besar, sangat diperlukan kesediaan dana atau likuiditas baru untuk penanganan kesiapan sarana kesehatan, jaring pengaman sosial, pemulihan daya beli (demand side), dan pemulihan sisi produksi (supply side).
Ketiga, mengingat situasi Covid-19 yang sudah menghambat seluruh sisi perekonomian, sangat diperlukan keterbukaan oleh pihak pemerintah untuk dilakukannya pendanaan dengan biaya yang lebih rendah daripada sebelumnya agar pemulihan ekonomi nasional secara terpadu juga akan turut dirasakan oleh sektor riil. Risiko beranjaknya kepincangan menuju kelumpuhan di sektor riil cukup nyata dan pola penanganannya dapat memengaruhi corak pertumbuhan ekonomi ke depan.
Dalam waktu 6 bulan ke depan, likuiditas yang dibutuhkan untuk kepentingan jaring pengaman dan pemulihan daya beli terkait para pengusaha dan tenaga kerja UMKM bisa mencapai Rp1.000 triliun. Di periode sama, kebutuhan dana ataupun jaminan untuk kepentingan dilakukannya restrukturisasi terhadap 40–45 persen dari seluruh pinjaman debitur di perbankan bisa mencapai Rp2.400–3.000 triliun.
"Dengan dihindarinya kelumpuhan permanen di sisi pasok atau produksi, perekonomian Indonesia berpeluang untuk lebih bisa bersaing di masa depan, khususnya dalam konteks upaya negara-negara maju untuk melakukan desentralisasi rantai pasok (supply chain) yang selama ini masih terkonsentrasi di titik-titik tertentu," jelasnya.
Indonesia berpeluang untuk menjadi basis manufaktur dan produksi baru berdasarkan kebijakan banyak negara untuk melakukan relokasi kapasitas produksinya ke beberapa negara di Asia Tenggara. Besar harapan agar bisa dilakukannya sinkronisasi kebijakan-kebijakan antar lembaga agar pemulihan ekonomi bisa dilakukan dalam waktu dekat.
"Peran APBN dalam perekonomian Indonesia hanya sekitar 17 persen dibanding PDB (dibanding negara-negara tetangga lainnya dengan porsi APBN terhadap PDB yang jauh lebih besar). Kita juga menyadari bahwa negara-negara lain sudah melakukan penyikapan fiskal (untuk stimulus penanganan Covid-19) di level sekitar 10 persen atau lebih terhadap PDB-nya. Berdasarkan hal-hal tersebut, mungkin sangat perlu dipertimbangkan kebijakan moneter modern yang lebih proaktif untuk menopang keterbatasan ruang fiskal dan menciptakan likuiditas yang diperlukan untuk sektor riil," kata Gita.
Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Inggris, dan China adalah beberapa negara yang sudah merangkul kebijakan moneter modern (termasuk pelonggaran kuantitatif ). Adapun jumlah pelonggaran kuantitatif yang telah dilakukan oleh lima perekonomian tersebut sejak tahun 2008 yaitu sebesar lebih dari USD22 triliun. Risiko yang kerap dikaitkan dengan tindakan pelonggaran kuantitatif yaitu inflasi, depresiasi mata uang, dan moral hazard.
Mengingat tingkat inflasi di kuartal 1 tahun 2020 berada di level 2,96 persen dan bahwasanya penggelontoran bantuan likuiditas lebih diprioritaskan untuk mengganti kehilangan daya beli para pengusaha dan tenaga kerja UMKM untuk bisa hidup sehari-hari, bisa diasumsikan bahwasanya peningkatan tingkat inflasi masih bisa terkendali.
"Yang selama ini mengakibatkan inflasi adalah importasi untuk capital goods yang diperlukan untuk investasi jangka panjang," jelasnya.
Risiko terkait depresiasi mata uang juga bisa termitigasi mengingat penggunaan dana adalah untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak terlalu kental dengan importasi. Di samping itu, bank sentral Amerika Serikat atau The Fed juga sudah melakukan pelonggaran kuantitatif dalam beberapa minggu terakhir dengan jumlah sekitar USD2,5 triliun ( jauh lebih besar dibanding sekitar USD1,5 triliun yang dilakukan untuk program Troubled Asset Recovery Program atau TARP di tahun 2009).
"Jumlah yang besar ini, seperti di tahun 2009, akan mengakibatkan rembesan (atau over supply) pasok US Dollar ke seluruh pasar internasional, dan bisa melemahkan posisi US Dollar terhadap mata uang internasional," ungkap Gita.
Risiko terkait moral hazard sangat penting untuk dipikirkan mitigasinya. Ini akan sangat tergantung pada ketepatan sasaran melalui pipanisasi atas penggelontoran dana untuk jaring pengaman sosial, dan juga keterpaduan kebijakan dan pengambil kebijakan dalam penyaluran bantuan ataupun jaminan untuk restrukturisasi fasilitas pinjaman di sektor perbankan.
"Pada intinya, dengan menyiapkan sistem pemulihan ekonomi nasional yang tepat, cepat, terpadu, dan memperhitungkan skala untuk sekitar 6 bulan ke depan, berarti kita tidak semata bertekad agar kita semua bisa bertahan selama ketidakpastian ini berlangsung, tapi juga memastikan bahwa perekonomian Indonesia dapat bersaing pasca-pandemi," tandasnya.
(mdk/azz)