Miris,Warga Lokal Bali Kesulitan Punya Rumah Gara-Gara Turis
Bali menghadapi tantangan serius akibat kenaikan harga properti yang dipicu oleh investasi dan pariwisata.
Kenaikan Harga Properti di Bali
Pesona Bali sebagai destinasi wisata populer di Indonesia menarik perhatian tidak hanya turis, tetapi juga investor.
Namun, fenomena ini memicu masalah bagi warga lokal, yang merasa terpinggirkan dalam upaya memiliki rumah dan tanah.
- Pungutan Turis Asing Masuk Bali Diprediksi Capai Rp250 Miliar Sepanjang 2025
- Real Estate Indonesia Respons Begini Saat Muncul Moratorium Pembangunan Vila di Bali
- Wisatawan Domestik Ternyata Bisa Habiskan Rp6 Juta untuk Beli Oleh-Oleh di Bali
- Turis Asing Masuk Bali Bakal Dipungut Rp150.000 Mulai 14 Februari, Ternyata Dananya untuk Ini
Ni Made Fitri Apriyani, seorang warga Bali, mengungkapkan, 'Belum lagi kalau ada keperluan upacara agama.
Kayaknya buat beli tanah [atau rumah], jauh banget.' Dengan penghasilan bulanan yang hanya berkisar antara Rp3 juta hingga Rp5 juta, Fitri merasa impiannya untuk memiliki rumah di Pulau Dewata semakin menjauh.
Harga tanah di Batubulan, Gianyar, kini mencapai Rp300 juta per 100 meter persegi, sebuah angka yang sulit dijangkau oleh banyak warga lokal.
Data dari Realinfo menunjukkan harga properti di Bali meningkat 7 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, didorong oleh permintaan yang tinggi dan perkembangan infrastruktur yang pesat.
Di Kota Denpasar, kenaikan harga properti residensial tahunan mencapai 15,1 persen pada September 2024, jauh lebih tinggi dari tingkat inflasi yang hanya 3,5 persen.
Kisah Warga Lokal yang Berjuang untuk Memiliki Rumah
Gede, seorang pekerja di Denpasar, mengaku telah menyerah mencari tempat tinggal di ibu kota Provinsi Bali.
Dengan pendapatan bulanan sekitar Rp17 juta, ia merasa hanya keajaiban yang bisa membawanya untuk memiliki rumah di daerah tersebut.
"Kalaupun misalnya saya berhasil kumpulkan DP (uang muka), per bulannya kayaknya enggak cukup (untuk cicilan)," kata Gede.
Di Denpasar, harga rumah 100 meter persegi sudah menembus Rp1 miliar, harga yang jauh dari jangkauan Gede yang hanya bisa menganggarkan Rp100 juta-Rp200 juta untuk tanah.
Di Tabanan, Ni Made Ariyanti juga merasakan kesulitan serupa. Ia dan suaminya sudah setahun mencari tanah atau rumah impian, namun harga yang terjangkau tetap tidak kunjung ditemukan.
Dengan modal Rp450 juta, Ari berharap bisa mendapatkan rumah idamannya, sementara suaminya menganggarkan Rp400 juta untuk tanah.
"Kenapa beli tanah di rumah sendiri jadi lebih mahal dan jauh? Enggak bisa dijangkau," keluh Ari.
Fenomena Overtourism dan Dampaknya
Fenomena overtourism di Bali semakin nyata dengan banyaknya pendatang yang menetap. Ali, seorang migran asal Jawa Barat, telah tinggal di Bali selama 10 tahun dan menyaksikan banyaknya papan 'dijual' di petak-petak sawah.
"Tiga sampai empat kali," kata Ali.
Mengingat saat warga asing menawarnya untuk membeli rumahnya yang tidak dijual. Keberadaan wisatawan asing juga mempengaruhi harga tanah, membuat warga lokal semakin terpinggirkan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah migran di Bali mencapai 681.224 orang pada 2020, dengan konsentrasi terbesar di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak yang datang untuk menetap, bukan hanya berlibur. Di sisi lain, sektor properti di Bali menjadi ladang investasi yang menggiurkan bagi investor asing, yang berpotensi mengubah wajah Pulau Dewata.
Tanggapan Pemerintah dan Solusi yang Diharapkan
Pemerintah Bali mengusulkan moratorium pembangunan hotel dan vila untuk mengatasi masalah ini.
Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, menyebutkan bahwa moratorium ini bertujuan untuk mendorong terbentuknya pariwisata yang berkualitas.
Namun, pelaksana tugas Bupati Badung, Ketut Suiasa, menyatakan bahwa moratorium ini menimbulkan paradoks karena target investasi yang harus dikejar.
"Kami di Badung belum sepakat tentang melaksanakan moratorium," ujarnya.
Di sisi lain, Tjokorda Bagus Pemayun, Kepala Dinas Pariwisata Bali, menanggapi bahwa kenaikan harga tanah dan properti adalah akibat dari permintaan yang meningkat.
"Membeli tanah pasti menyesuaikan dengan harga yang sesuai dengan NJOP (nilai jual objek pajak)," katanya.
Namun, ia mengakui bahwa ada masalah perizinan yang mempengaruhi tata ruang di Bali.
Tantangan bagi Warga Lokal
Dengan meningkatnya harga properti dan tantangan dari investasi luar, warga lokal seperti Gede, Ari, dan Fitri merasa tertekan.
Mereka harus bersaing dengan investor asing yang memiliki modal lebih besar.
Gede mencatat, "sangat menyedihkan, mayoritas warga sepertinya menormalkan hidup di kos-kosan yang kecil dan tidak tahu bahwa [harga] properti di luar Bali itu terjangkau dengan UMR lokal".
Ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya soal harga, tetapi juga tentang keberlangsungan hidup warga lokal di tanah kelahiran mereka.
Dengan adanya moratorium dan regulasi yang lebih ketat, diharapkan pemerintah dapat menciptakan solusi yang seimbang antara kebutuhan pariwisata dan kesejahteraan warga lokal.
Jika tidak, masa depan Bali sebagai destinasi wisata yang berkelanjutan akan terancam, dan warga lokal akan terus berjuang untuk mendapatkan tempat yang layak di tanah mereka sendiri.