Penerapan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan Dikhawatirkan Buat Jumlah Peserta Menunggak Iuran Meningkat
Penerapan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan Dikhawatirkan Buat Jumlah Peserta Menunggak Iuran Meningkat
Menurutnya, ini berpotensi meningkatkan jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang menunggak akibat penyesuaian iuran.
Penerapan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan Dikhawatirkan Buat Jumlah Peserta Menunggak Iuran Meningkat
Penerapan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan Dikhawatirkan Buat Jumlah Peserta Menunggak Iuran Meningkat
- Anggota DPR Nilai Kelas Rawat Inap Standar BPSJ Kesehatan Berpotensi Langgar Konstitusi
- Kelas BPJS Dihapus, Menkes: Iuran akan Kami Sederhanakan
- Penjelasan Menkes Soal BPJS Kesehatan Kelas 1,2 dan 3 Dihapus
- Pesan Dirut BPJS Kesehatan Seiring Implementasi Kriteria Kelas Rawa Inap Standar: Rumah Sakit Jangan Kurangi Jumlah Tempat Tidur
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan sederet dampak negatif terkait keputusan pemerintah dalam penerapan skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurutnya, ini berpotensi meningkatkan jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang menunggak akibat penyesuaian iuran.
"Untuk (iuran) peserta kelas 3 yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak," ujar Timboel saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Senin (13/5).
Kedua, penerapan skema penghapusan kelas juga akan menurunkan penerimaan BPJS Kesehatan. Menyusul, turunnya nilai iuran peserta kelas 1 dan 2 akibat penyesuaian tarif.
"Iuran peserta mandiri akan menjadi satu (single tarif) karena satu ruang perawatan, sehingga iuran klas 1 dan 2 akan turun, sementara kelas 3 akan naik," ungkapnya.
Ketiga, penghapusan kelas BPJS Kesehatan juga dinilai akan merugikan pengusaha rumah sakit swasta. Mengingat, adanya kegiatan renovasi ruang perawatan sesuai aturan Kelas Rawat Inap Standar.
"Kalau RS pemerintah tinggal nunggu alokasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)," ucapnya.
Oleh karena itu, Timboel meminta pemerintah untuk meninjau ulang penghapusan kelas BPJS Kesehatan. Dia menilai, upaya peningkatan mutu standar pelayanan melalui Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) justru akan menimbulkan banyak kerugian.
"Seharusnya pemerintah mengkaji ulang KRIS dgn melakukan standarisasi ruang perawatan klas 1, 2, dan 3, bukan membuat KRIS dengan satu ruang perawatan," tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti menegaskan bahwa implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) tidak menghapus jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta.
"Masih ada kelas standar, ada kelas 2, kelas 1, ada kelas VIP. Tetapi ini sekali lagi masalah non-medis," kata Ghufron Mukti saat dikonfirmasi terkait diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya mengatur tentang KRIS.
Dikatakan Ghufron, Perpres tersebut berorientasi pada penyeragaman kelas rawat inap yang mengacu pada 12 kriteria, meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, termasuk temperatur ruangan.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.
"Bahwa perawatan ada kelas rawat inap standar dengan 12 kriteria, untuk peserta BPJS, maka sebagaimana sumpah dokter tidak boleh dibedakan pemberian pelayan medis atas dasar suku, agama, status sosial atau beda iurannya," ujarnya.
Jika ada peserta ingin dirawat pada kelas yang lebih tinggi, kata Ghufron, maka diperbolehkan selama hal itu dipengaruhi situasi non-medis.
Pada pasal 51 Perpres Jaminan Kesehatan diatur ketentuan naik kelas perawatan dilakukan dengan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.
Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.
"Ya tentu Perpres Jaminan Kesehatan ini bagus, tidak saja mengatur pasien bisa naik kelas, kecuali PBI atau mereka yang di kelas III," ujarnya.